Bersiap Menyalip di Tikungan Terakhir


Akhirnya saya punya alasan untuk membuat tulisan ini. Dari dulu saya selalu kebingungan untuk menulis tentang RBM di Baluran. Sejak dideklarasikan 2009 lalu, RBM di Baluran tiba-tiba memasuki musim kemarau sangat panjang lalu berdomansi. Nothing has been happened in 2009 till 2012. Kadang-kadang saya masih heran, kok bisa saya diundang kesana-sini menjadi pemateri tentang RBM. Dari taman nasional satu ke taman nasional lainnya. Padahal saya gak punya modal apa-apa untuk duduk di meja dengan plakat “Pemateri” dan sebuah microphon itu. Dan sekarang, setelah ceperan sebagai pemateri sudah sepi, baru saya menemukan alasannya.

Ohya, mungkin banyak yang masih asing dengan istilah RBM. RBM adalah singkatan dari Resort Based Manajement. Dalam pengertian bahasa manusia kurang lebihnya adalah bagaimana mengelola kawasan konservasi (persisnya taman nasional) dengan mengoptimalkan fungsi resort sebagai pemangku wilayah terkecil dalam sebuah menejemen kawasan konservasi. Dalam  menejemen taman nasional ada struktur pemangkuan, mulai dari Balai sebagai pusat pemerintahnya, lalu Seksi dan yang paling ujung adalah resort.

Sebagai wilayah administrasi terkecil, resort diibaratkan desa atau bahkan RT dalam struktur pemerintahan. Maka layaknya kampung, resort sering diidentikkan dengan orang-orang ndeso. Buta teknologi, dan hanya bisa mengerjakan pekerjaan kasar, disengat matahari, belepotan lumpur, kecokrok duri akasia dan disruduk celeng. Padahal core pengelolaan kawasan konservasi justru ada di tingkat tapak, di dalam hutan sana.

Kalau dulu, dalam konteks pengelolaan kawasan, resort diibaratkan tivi yang diremot dari jauh. Dia hanya mengikuti perintah siapa yang pegang remot (baca: kantor balai), dan program siaran apa yang ditayangkan oleh stasiun tivinya (baca: Jakarta). Dia bahkan tidak bisa melihat dirinya sedang menampilkan gambar apa. Dia adalah bagian penting dari entertain tapi dia tidak tahu bagaimana caranya menghibur. Itu sebabnya kebanyakan resort hanya diisi oleh pegawai golongan rendah, sehingga akan lebih mudah diremot oleh pegawai dengan golongan yang lebih tinggi. Kira-kira begitulah kasarannya.

Nah, RBM adalah mengubah tivi yang serba diremot dari kejauhan menjadi smart phone yang memiliki sistemnya sendiri. Dia memiliki wilayah otonom untuk meng-update dirinya sendiri, menolak perintah user yang bisa membahayakann sistemnya, bahkan dia memiliki otoritas super user yang hanya dirinya sendiri yang boleh mengakses. Kecuali kalau akses super user itu berhasil di-root oleh user. Tapi mari kita sebut saja itu adalah kasus khusus.

Yang harus diperhatikan, se-smart-smart-nya smart phone dia tidak bisa bekerja tanpa perintah sistematis dari user. Dan yang lebih penting, interaksi antara sistem dan user tidak lagi menggunakan remot, melainkan melalui sentuhan jari yang lembut dan terarah. Artinya, meskipun memiliki akses super user, resort tidak terpisahkan dan memang tidak boleh dipisahkan dari struktur lainnya sebagai kesatuan utuh dalam pengelolaan kawasan.

So, RBM adalah bagaimana sampeyan menggunakan teknologi sesuai dengan peruntukan dan mekanismenya. RBM adalah menempatkan ranjang di kamar tidur dan kompor di dapur. RBM saya ibaratkan teknologi canggih dalam tubuh smart phone yang digunakan untuk mempermudah kehidupan, urusan pengelolaan kawasan konservasi. Bukan hanya buat keren-kerenan atau balapan menghabiskan uang puluhan milyar rupiah yang gak jelas alur logikanya, hubungan kasualitasnya, atau apalagi justifikasi ilmiahnya.

Dan itulah yang ingin saya ceritakan di tulisan ini: mengawinkan pekerjaan kasar di hutan dengan sedikit sentuhan teknologi dalam penampakan smart phone.

Perkawinan suci ini pun kami namai CAKRA™. Kependekan dari Cara Kerja Resort Aktif. Kenapa ‘aktif’? Karena self programming tadi itu. Resort yang merencakan program kerjanya, dia juga yang mengumpulkan data-datanya, dan pada tingkat lanjut dia harus bisa membaca dan menganalisa data itu. Seperti siklus, hasil analisa itu menjadi bahan untuk merancang program kerja selanjutnya. Lalu lingkaran siklus itu akan diperluas pada wilayah seksi sampai balai. Management base on data yes? Dan teknologi saya kira memiliki peran besar dalam konstelasi siklus CAKRA itu.

Huff… sepertinya ini akan menjadi tulisan yang sangat panjang dan membosankan.

Baik, mari kita persingkat saja.

Dalam gelapnya hutan-hutan kawasan konservasi di Indonesia, siapakah yang paling wajib tahu apa saja isinya dan bagaimana mengelolaanya? Kementerian Kehutanan, yes. Lalu turun ke tingkat yang lebih tapak, yaitu UPT seperti taman nasional atau BKSDA, turun lagi ke seksi dan mentok di resort. Jadi siapa yang paling bertanggung jawab terhadap arah pengelolaan dan ketersediaan informasi dalam kawasan konservasi? Siapa lagi kalau bukan resort? Modar koen!

Pengelolaan yang baik tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan data yang baik pula. Mengelola kawasan tanpa data seperti orang sudah di atas mobil tapi tidak tahu mau kemana, gak bawa peta pula. Dengan data lengkap, menyeluruh tapi detail dan up to date-lah kita bisa memutuskan mau dibawa kemana arah pengelolaan. Baseline data adalah modal penting bagi setiap pengelola kawasan.

Ah, sepertinya saya terlalu muter-muter dari tadi.

Ok, langsung tonjok saja.

Lalu bagaimana Baluran dalam skema RBM mengumpulkan data dasar kawasan: mengetahui potensi dan masalah kawasan? -sebelum berani menentukan arah pengelolaan-

Well, ladies and gentlement, I introduce you our best players: Memento database aaaannddLocus Prooooooplok-plok-plok...
Kedua aplikasi itu dijalankan dalam OS Android. Sorry, we’re not Appler’s. Because the green robot has already swallowed this sweet apple. Nah, nglantur lagi kan? [maklum, jam dinding di atas saya sudah menunjukkan pukul 12.00].

Tampilan muka Locus yang jauh lebih ganteng dari GPS manapun. Zoom level 10.

shot_000004

Tampilan muka Memento yang sudah diisi dengan tabel-tabel custom


Memento adalah lembar talisit lapangan kawan-kawan dalam mengumpulkan data. Sebagai fungsi database, aplikasi ini memiliki segalanya. Maaf saya gak bisa cerita di sini, silahkan coba sendiri saja yes?

Ada 12 talisit utama yang tentunya sudah disesuaikan dengan karakteristik Baluran: Pal Batas, Bangunan Ilegal, HHNK, Kebakaran Hutan, Gangguan Perairan, Perencekan & Perumputan, Penggembalaan Liar, Kematian Satwa & Perburuan Liar, Pohon Roboh & Illegal Logging, Sumber Air, Perjumpaan Satwa, dan Wisata Alam, Penelitian & Pendidikan. Semua data itu di-entry secara digital dalam memori penyimpanan smart phone Android melalui Memento.

Setelah data ter-entry, pada tiap bulan petugas resort akan mengekspor data dari memento lalu diimpor ke dalam Sistem Informasi Management (SIM) atau kita sebut saja database di masing-masing leptop resort. Kenapa kita simpan di leptop resort? Karena resort harus memiliki data kawasannya sendiri donk. Dari leptop resort, data akan ditransfer ke komputer Seksi, dan dari seksi semua data ditransfer di terminal utama server Balai. Done!

Is that heard like a short of PAPERLESS? Yes indeed! It’s absolutely paperless, honey! We don’t even use any piece of paper!

Itulah alasan utama kenapa Baluran menggunakan Android sebagai alat utama pencatatan lapangan. Selain efisien, saya yakin di masa datang kita sudah tidak memerlukan kertas untuk catat mencatat. At least sekarang kita sudah tidak menggunakan kertas buat kirim surat ke pacar to? Saya membayangkan 20-30 tahun ke depan dunia sudah tidak butuh KTP, paspor, akta kelahiran apalagi kartu keluarga (yang notabene ditulis di atas kertas). Cukup sebuah chip yang ditanam di ketiak sampeyan yang bisa dipindai untuk mengklarifikasi status kependudukan, gelar pendidikan, alamat rumah, no hape, golongan darah sampai medical record. Bayangkan wajah petugas kelurahan yang sedang memindai ketiak sampeyan yang berbulu lebat itu. Keren kan?

[nglantur lagi beib]

Lalu dimana fungsi Locus?

Locus sebenarnya berfungsi sama persis dengan GPS. Bedanya, user interface Locus jauhhhhh lebih friendly dibandingkan GPS merk apapun di seluruh planet ini! Sebuah Memento sebenarnya juga bisa buat tag koordinat lokasi secara offline (no internet needed), tapi kita tetap perlu Locus untuk kalibrasi dan mengetahui di grid mana petugas berada. Grid adalah pembagian wilayah berdasarkan bidang persegi 1×1 km. Pembagian berdasarkan grid ini sebenarnya bertujuan untuk memudahkan analisa data.

Jadi, sodara-sodara sekalian. Dengan sebuah device Android, sampeyan sudah memegang semua keperluan pencatatan data di lapangan: talisit, GPS, ditambah kamera dan Angry Birds.

Ok ok, teknologi, smart phone, memento, locus, bla bla bla… trus mana hasilnya?

Sebelum ke contoh hasil, tidak lupa saya ucapkan terima kasih se-muah-muah-nya kepada Bu Emy yang sudah men-support full ide-ide dari Tim CAKRA, kepada Pak Yusuf Sabarno yang mengkomandoi CAKRA, Suwono tukang provokasi, dan teman-teman tim lainnya. Tentunya saja kawan-kawan resort, seksi dan balai yang sudah bekerjasama dengan sangat baik selama ini. Kita memang sudah kalah jauh dari UPT lain, tapi saya yakin kawan-kawan, kita akan menyalip di tikungan terakhir hohohohoho….

Labuhan Merak, 1 Februari 2014
[di bawah lampu byar pet listrik tenaga jenset merk IMOTO yang suaranya kayak buto ngorok]

***

Silahkan klik gambar-gambar screenshot di bawah tulisan ini kalau ingin tahu seperti apa contoh hasil dari kerja kawan-kawan lapangan untuk dua talisit: Perjumpaan Satwa dan Pohon Roboh & Illegal Logging. Saya pake data bulan November s/d Januari dari Resort Labuhan Merak, karena kebetulan di situlah sekarang my body and soul belong to.

Semoga ini bukan yang terakhir. InsyaAllah akan ada sharing pengalaman yang lain.

2 thoughts on “Bersiap Menyalip di Tikungan Terakhir

Leave a reply to kangbas Cancel reply