Petungkriyono Part II: Hunt Them All! Leave No Remains!


Bayangan pertama yang keluar saat saya ditelpon Antok untuk mengisi materi pelatihan fotografi di Petungkriyono adalah menyempatkan diri bertemu dengan burung ghoib Engkek Geling Cissa thalassina. Hutan di sepanjang pegunung antara Gunung Slamet dan Gunung Sindoro, atau banyak yang mengenalnya sebagai Pegunungan Dieng, adalah salah satu habitat burung super langka itu. Di sanalah, konon, sisa-sisa jasad hidup burung bergincu merona ini berada. Nah, hutan Petungkriyono berada di sisi barat laut pegunungan Dieng.

Semangat menggebu-gebu untuk lihat live show si bibir gincu itu juga menjangkiti my hunting mate Nurdin. Pokoknya kalo lagi ngobrolin masalah burung, yang pertama kali dibahas adalah si gincu. Tapi apakah yang terjadi?

Huntan alami yang terbentang di desa Sokokembang adalah salah satu yang terbaik di wilayah barat laut Pegunungan Dieng. Kalau sampeyan naik ke desa-desa di atasnya, hutan-hutan di sana sudah menjelma lahan pertanian atau sebagus-bagusnya hutan pinus. Tapi apakah yang terjadi di dalam hutan yang masih terjaga dengan baik itu?

Sampeyan mungkin tidak percaya kalau selama hampir seminggu berkeliaran di Petungkriyo saya sama Nurdin dan Surip tidak melihat sebijipun burung kacamata! Padahal dimana-mana dia adalah penghuni wajib hutan alami pegunungan. Burung cinenen cuma satu dua, tekukur tiga empat, mungkin yang agak mendingan cuma kutilang. Hutan Sokokembang bisa dibayangkan seperti rumah Belanda yang megah tapi tak berpenghuni.

Pelatuk Merah, satu-satunya penghibur para galawer

Pelatuk Merah, satu-satunya penghibur para galawer

Si Cakep yang I love you pokokmen

Si Cakep yang I love you pokokmen

Jika melihat catatan kami selama ngluyur di Petungkriyo, pertemuan dengan jenis-jenis seksi menunjukkan bahwa dulu kawasan adalah surganya burung. Sebut saja Pentis Pelangi Prionochilus percussus, Tepus Dada-putih Stachyris grammiceps, Puyuh Gonggong-jawa Arborophila javanica, Pelatuk Merah Picus miniaceus, Tukik tikus Sasia abnormis  atau Tangkar Ongklet Platylophus galericulatus. Julang Emas cukup umum, Elang Jawa masih ada, Udang api, Luntur Harimau, Luntur Gunung, Sempur Hujan Duit juga kabarnya masih sering teramati.

Jadi dimana masalahnya?

Konon tahun 1980an, berdasarkan cerita masyarakat Sokokembang, orang berburu si gincu cukup memasang jaring di depan rumah. Lalu pada 1990an* adalah catatan terakhir burung ini ditemukan di Peg. Dieng. Cukup 10 tahun untuk menghabisi peradaban si gincu dari muka bumi. Jadi bisa dibayangkan, pertama, betapa melimpahnya populasi si gincu sebelum terjadi perburuan besar-besaran; kedua, praktik perburuan burung juga dilakukan oleh warga masyarakat sekitar hutan yang bahkan dilakukan tanpa mengganggu pekerjaan utama yang mayoritas petani. Mereka bisa berburu kapan saja tanpa memperhitungkan waktu bercocok tanam. Pemilik rumah yang dijadikan basecamp penelitian, Pak Tasuri, bahkan adalah mantan pemburu ulung di desanya. Alhamdulilah sekarang para warga Sokokembang, seperti halnya Pak Tasuri, sudah berhenti total dari pekerjaan part time-nya itu.

Saya kira applus setinggi-tingginya perlu dialamatkan buat para munyukers pimpinan Mas Wawan dkk yang terus melakukan pendampingan kepada masyarakat disamping riset yang mereka lakukan.

Berdasarkan cerita warga, para pemburu itu, dulu kalo menghabisi burung-burung kacamata tidak bawa sangkar sebagai alat angkut burung, tapi karung! Bahkan pas kita disana ada informasi 3 orang pemburu masuk ke hutan. Saya jadi heran bin gregetan pada kemana nih polisi-polisi hutan Perhutani yang bertanggung jawab mengamankan kawasananya? Pada tidur apa mati semua?

Insting beburu bagiamanapun juga sudah tertanam dalam DNA manusia. Aktifitas berburu bahkan sudah ditemukan sebelum lahirnya spesies Homo sapiens**. Sampai sekarang praktik perburuan masih berlangsung, dengan segala matode dan tujuannya. Setidaknya ada 22 macam teknik berburu yang pernah dibuat manusia sepanjang umur peradabannya, itu belum termasuk derivasi masing-masing teknik.

Tidak masalah dengan perburuan. Sebagai penghuni puncak piramida makanan, manusia juga punya hak terlibat dalam permainan makan-dimakan ini. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kebutuhan genetis untuk berburu ini tidak didukung oleh regulasi yang baik dan penegakan hukum yang seadil-adilnya.

Jika penerapan aktifitas perburuan dilakukan dengan penuh tanggung jawab akan aturan justru memberi manfaat ekonomi yang besar. Dalam hal ini terpaksa saya harus ngambil contoh kasus dari negara para “pemburu” yang sebenarnya. Amerika Serikat pada tahun 2012, aktifitas berburu telah menyumbang US $ 38.3 milyar!*** Atau kalo dirupiahkan pake kurs murah-murahan Rp. 10 ribu/dollar kira-kira sama dengan Rp. 383 triliun! Yang menarik dari angka itu adalah, US $ 440 juta (Rp. 4,4 triliun) dikembalikan directly untuk konservasi! Dengan putaran siklus ekosistem akan terus berlanjut, memelihara satwa di alam untuk diburu.

Jika semua urusan perangonan poro kewan di seluruh kolong hutan Indonesia dikelola oleh Kementerian Kehutanan maka seharusnya anggaran belanja kemenhut harus jauh lebih besar di angka di atas, karena luas hutan dan jumlah satwanya lebih beragam dibandingkan di US. Tapi tahukah sampeyan berapa anggaran kemenhut untuk ngurusi hutan kita di tahun yang sama? Rp. 6.7 triliun! Itupun masih harus dibagi-bagi untuk 8 direktorat jenderal, sekjen, itjen, dan lain sebagainya****. Tentunya dari ke 8 esselon itu cuma PHKA yang berurusan langsung dengan para hewan-hewan itu. Dan tahukah juga sampeyan berapa cipratan dana yang masuk PHKA untuk meng-konservasi semua hutan di Indonesia? Tidak lebih dari 1.8 triliun/ tahun! Kalah jauh dari RLPS/BPDAS PS sebesar Rp. 2.8 triliun yang kerjaannya cuma menanam pohon untuk dibiarkan mati! Rada atos iki rek!

Ohya, satu hal yang mungkin sampeyan tahu. Perburuan jika dipraktikkan dengan benar adalah bagian penting dalam wildlife management. Berburu dengan benar akan membantu mengatur populasi satwa yang melebihi carrying capacity habitat dimana mereka hidup. Carrying capacity kalau saya boleh mengartikan adalah mengembalikan proporsi predator dan prey pada angka yang sebisa mungkin seimbang, sehingga rantai makanan tidak bergeser dari jarum keseimbangannya.

Saya membayangkan 10 tahun ke depan Baluran menjadi ladang perburuan mamalia besar yang lestari satu-satunya di Indonesia. Kembali ke asbabul nuzul Baluran ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh Belanda dulu. Topografi dan karakter habitat Baluran sangat cuocok buat aktifitas beginian. Rusa di Baluran sudah cukup berlebih untuk dijarangi. Apalagi para GPK Macaca itu.. wooo ajar! hahaha…

Aktifitas perburuan di Indonesia sendiri diatur dalam PP no. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, didukung oleh PP no. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis dan Satwa, dan PP no. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Tapi apakah semua praktik perburuan (termasuk jual beli satwa liar) di Indonesia sudah memenuhi syarat wajib dan syarat sah pemanfaatan satwa yang lestari? Berapa Taman Buru di Indonesia yang benar-benar sudah menerapkan praktik perburuan yang lestari? Berapa banyak satwa liar dilindungi dan terancam punah justru berakhir tragis di pasar burung atau di wall grup “pecinta satwa” facebook?

Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Toh sampeyan semua tentu lebih paham dari saya. Saya cuma seekor siluman paralon yang geregeten melihat hutan Sokokembang yang begitu asri tapi tak berpenghuni. Hambar. Seperti melihat senyum cantik Raisa tapi gak punya gigi, mendingan nyipok Nurdin aku. Atau separah-parahnya, seperti meraba susunya Nurdin tapi gak ada putingnya, tetep mending takcipok. 😛

Kanjeng Rasulullah dawuh:

“Allah melaknat siapa saja yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran” (Abu Daud dengan sanad shahih)
“Barangsiapa yang menyakiti ini (burung) dengan anaknya; kembalikan anaknya padanya” (Muslim)
“Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya kalian disayangi siapa saja yang ada di langit” (Ath-Thabrani dan Al Hakim)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal. Oleh karena itu, jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang dan kalian menenangkan hewan yang akan disembelihnya, dan menajamkan pisaunya” (Muslim, At Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).

Mari berdamai dengan sesama makhluk Tuhan.

**

Referensi

*van Balen, S.; Eaton, J. A.; Rheindt, F. E. 2011. Biology, taxonomy and conservation status of the Short-tailed Green Magpie Cissa [t.] thalassina from Java. Bird Conservation International.
**http://en.wikipedia.org/wiki/Hunting
***Hunting in America: An Economic Force for Conservation. National Shooting Sports Foundation and International Association of Fish and Wildlife Agencies. goo.gl/XnvVAh
****Evaluasi Realisasi Belanja Tahun 2012 dan Percepatan Penyerapan Anggaran Tahun 2013 Lingkup Kementerian Kehutanan. Tim evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran Kementerian Kehutanan

 

2 thoughts on “Petungkriyono Part II: Hunt Them All! Leave No Remains!

  1. nek jare komentare pak Bas,. ” dolin ae, kerjo ! tegalane kobong kae “,. wkwk,.

    mantap pak,. pas aku ndono yo takon ro pak tasuri perihal si gincu,. ning yo mung ” dulu banyak mas “,. hehe

    **baluran lek gak kobong malah iso entek savanane pak hahaha…

  2. seperti halnya burung Betet biasa di tahun 1975an yang senang memakan bunga turi (Sesbania grandiflora) berjumlah puluhan ekor di depan rumah “cerita ayah saya”, tapi sekarang satu ekor pun tak terlihat.. 😦
    **awakmu ae sing gak tahu pengamatan 😛

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s