Pagi-pagi sekali, jam 7,hari Kamis kemarin, hape saya berdering. Padahal mata saya masih belum mau dibuka. Dengan terpaksa saya angkat gadget buatan Cina itu.
“Mas, saya dari TIKI. Ada kiriman untuk Mas Swiss dari Inggris! Saya sudah di depan pos kantor Baluran.” suara dari dalam kotak hitam itu mengagetkan saya.
Kiriman dari Inggris? Perasaan saya gak pernah kontak-kontakan sama orang Inggris. Kecuali, dengan beberapa agen rahasia MI6 yang saya rasa tidak perlu saya ceritakan di sini.
“Baik, Pak. Saya meluncur sekarang.” jawab saya masih dengan pita suara penuh air ludah dan bau mulut super mambu!
Singkat cerita, sesampainya di pos Baluran, menandatangani bukti penerimaan kiriman dan lain sebagainya, dengan tidak sabar saya buka bungkusan berlabel UPS itu. Sesaat saya agak terbelalak karena isinya adalah sebuah buku hard cover, sangat tebal, dengan foto sampul 4 burung pelatuk yang sangat menawan dan belum pernah saya temui di Indonesia. Woodpecker of the World the Complete Guide terpampang besar di sampul.
Wow! Sepersekian detik kemudian ingatan saya kembali setahun yang lalu, tepatnya bulan September. Sebuah email masuk ke inbox, dari seseorang bernama Jim Martin dari sebuah perusahaan penerbit di London yang akan menerbitkan buku tentang pelatuk di seluruh dunia tahun depan.
“I think that this is the species Javan Flameback (which has been split recently from Greater Flameback), which makes it quite a special photo,..” begitulah penggalan suratnya saat nembung foto saya. ” I would be very pleased to send you a copy of the book by way of thanks, or we can arrange a fee.” Tidak hanya nembung, dia juga mau kasih harga kalau saya mau.
Saya tidak tahu berapa kadar nikotin yang ada dalam darah yang mengaliri otak saya waktu itu. Tanpa basa-basi saya kasih saja dua foto yang dia minta, tanpa menyebutkan harga yang saya minta, foto Pelatuk Tunggir Emas yang saya ambil di Kacip tahun 2012 lalu. Dan setelah itu tidak ada lagi komunikasi sampai buku ini ada di tangan. Saya benar-benar tidak ngeh dengan kata-kata si Jim, “which makes it quite special photo.”
Setahun berikutnya, hari ini, saat buku itu ada di tangan, saya langsung meluncur ke halaman 474 dimana si tunggir emas ini dimuat. Nama Inggris si burung ditulis paling besar di sisi atas halaman, disusul nama spesies, ukuran tubuh, teks deskripsi yang sangat lengkap, 2 buah foto yang sangat saya kenal. Dan tentunya sebuah peta distribusi si burung yang mau tidak mau saya harus misuh saat itu juga, “Cuk!”
Keberadaan Pelatuk Tunggir Emas dalam peta itu hanya terbatas di Jawa Timur, Bali dan Kangean! Sesempit itukah sebarannya?
Ini adalah buku ketiga yang dikirim ke rumah oleh penerbit luar negeri. Sebelumnya Hornbill in the City (National Parks Board, Singapura) dan Hornbill of the World (Draco Publisher, Singapura). Keduanya hasil dari foto anak jenis endemik Jawa dari Rangkok Badak yang saya ambil di Baluran.
Beberapa bulan yang lalu, kawan saya Imam Taufiqurrahman, ngasih tahu bahwa tahun ini banyak sekali spesies baru di dunia perburungan. Kebanyakan dari mereka adalah hasil split (pemisahan) dari jenis-jenis sebelumnya yang sudah dideskripsikan. “Jawa sampai kebanjiran spesies baru!” begitu katanya.
Pelatuk Tunggir Emas yang ada di Jawa sebelumnya adalah anak jenis dari Chrysocolaptes lucidus yang tersebar dari India, Himalaya sampai Asia Tenggara. Anak jenis Jawa sendiri adalah C.l. strictus. Dalam perkembangan ilmu taksonomi C. lucidus berubah menjadi C. guttacristatus dan anak jenis endemik Jawa dipisah menjadi jenis sendiri menjadi C. strictus.
Mumet yo? hahaha… podo!
Anyway, dalam dunia taksonomi, pemisahan satu spesies jadi beberapa spesies berbedam atau sebaliknya penggabungan beberapa spesies menjadi spesies tunggal adalah hal yang sangat wajar. Perkembangan teknologi dalam 100 tahun terakhir sangat membantu peneliti untuk mengukur secara pasti klasifikasi binominal taksa di seluruh dunia. Dalam dunia burung, teknologi perekam suara, geo-tracking, fotografi bahkan sampai tingkat molekuler DNA sangat berperan besar.
Berdasarkan Daftar Burung Indonesia No. 2 yang dikeluarkan tahun 2007, Indonesia memiliki 1.598 jenis burung. Sekarang, berdasarkan IOC World Bird List, daftar jenis burung Indonesia sudah menjadi 1.645 atau mengalami penambahan 47 jenis, dalam 7 tahun! Dari jumlah itu, 35 jenis berasal dari pemisahan spesies tunggal menjadi beberapa spesies baru! Sedangkan sisanya 10, berasal dari temuan distribusi baru (sebelumnya tidak tercatat di Indonesia) dan 2 spesies yang benar-benar baru atau belum pernah ditemukan di muka bumi. Dua spesies baru itu adalah Kacamata Togian (Zosterops somadikartai) yang ditemukan oleh Indrawan, dkk. tahun 2008 dan Celepuk Rinjani (Otus jolandae) yang ditemukan Sangster, dkk. tahun 2013.

Kacamata Togian yang ditemukan oleh Indrawan, dkk. tahun 2008 di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Foto © Bram Demeulemeester
Yang menarik dari 2 temuan burung baru itu adalah, perjalanan penemuan spesies baru yang sudah berumur 256 tahun sejak jamannya Linnaeus itu masih terus berlanjut sampai sekarang. 400 lebih jenis burung baru pertama kali dideskripsikan (ditemukan) oleh Linnaeus tahun 1758. Carolus Linnaeus adalah bapak taksonomi dunia, karena dialah yang pertama kali menemukan sistem penamaan Binominal Nomenclatur. Saya membayangkan pada tahun itu seandainya Pangeran Samber Nyowo lebih memilih jadi naturalist, bukan tokoh pendiri Prajan Mangkunegaran, saya yakin dia akan menjadi lebih terkenal dari Linnaeus karena melimpahnya keanekaragaman burung di Jawa. Apalagi kalau dia mau sedikit muter-muter di Kalimantan atau Sumatra, bisa-bisa tutup lapak itu Linnaeus.

Jumlah jenis burung yang berhasil ditemukan/dideskripsikan per tahun. Sumber: http://slybird.blogspot.com.au
Tahun 1800 sampai awal 1900an adalah masa kejayaan taksonomi burung dunia. Jaman yang ditandai dengan lahirnya revolusi industri itu merangsang para penjelajah mengeksplorasi lebih jauh sudut-sudut dunia yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Jaman ini bahkan melebihi para penjelajah era Napoleon. Pada jaman itu, sekitar 50 jenis burung ditemukan tiap tahunnya! Sepertinya setiap orang sedang ingin berlomba-lomba ingin mencatatkan namanya dalam daftar author spesies burung.
Seiring dengan semakin sedikit obyek eksplorasi, sudah tentu jumlah penemuan spesies baru semakin menurun sejak era keemasan. Tapi bukan berarti tidak ada. Bahkan sejak tahun 1942-2008 laju penemuan ini mengalami trend meningkat.

Laju penemuan jenis burung baru antara 1942-2008. Garis hitam horisontal di antara titik biru menunjukkan trend yang terus meningkat. Sumber: http://slybird.blogspot.com.au
Sedikit cerita tentang Celepuk Rinjani yang baru ditemukan tahun 2013 silam. Seorang kawan pengamat burung di Lombok bercerita kepada saya betapa sebenarnya dia sering menemukan burung nokturnal ini. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Sepertinya burung ini cukup mudah ditemukan di Lombok. Namun dia tidak menyangka bahwa burung ini adalah jenis yang benar-benar baru yang belum ada seorang pun mendeskripsikannya secara terukur. Sampai kemudian Sangster dkk. berhasil melakukannya setelah melakukan beberapa kali pengamatan yang intensif dan tentunya proses dokumentasi yang sangat serius. Dan melongo-lah kawan saya tadi.
Jadi, sodara-sodara sekalian, tidak menutup kemungkinan Sampeyan lah penemu/author berikutnya. Masih banyak kolong-kolong hutan di Maluku, Sulawesi atau Papua yang baru demit dan jin saja yang sudah menginjaknya. Perlu Sampeyan ketahui, sejak 1942 sampai 2008, negara-negara tropis adalah penyumbang terbesar penemuan jenis-jenis baru, dan Indonesia ada di peringkat ke-5 setelah Brazil, Peru, Filipina dan Colombia!

Daftar negara dimana spesies baru ditemukan. Sumber: http://slybird.blogspot.com
Bagi saya, tukang foto keliling, gak jadi penemu/author juga gak papa. Yang penting jeprat-jepret terus. Siapa tahu, beberapa tahun ke depan jenis-jenis burung dalam foto-foto itu disulap oleh para taksonom jadi spesies baru yang orang lain tidak punya fotonya. Lumayan kan dapat buku bagus gratis? 😀
**
Terima kasih buat Colin Trainor untuk informasi, Imam Taufiqurrahman untuk data burungnya dan Nurdin Setyo Budi yang sudah menemani perburuan foto Pelatuk Tunggir Emas.
TOPP MAS!
Ada yg tertarik jadi taksonom nggak ya? Mosok yg punya rumah cuma bisa ndomblong terus…