Tuhanku, Hinalah Hamba!


Tulisan ini harus selesai dalam sekali tulis. Karena kalau sampai tersimpan lagi sebagai draft, maka saya jamin dia akan menguap lagi. Tersudutkan di dalam server-nya WordPress, dilupakan, dan akhirnya dibuang sebagai old-rubbish file!

Ok, terus mau nulis apa?

Ini sudah yang kesekian kalinya jemari, otak dan libido menulis tidak menemukan kata sepakat membuat dan menyelesaikan sebuah tulisan, meskipun hanya 2-3 paragraf. Meskipun hanya berisi omong kosong atau sumpah serapah merasakan nikmatnya bekerja dalam sistem birokrasi. Kalau sampeyan adalah seorang PNS yang punya idealisme, meskipun cuma sebiji upil, maka sampeyan cuma punya 3 pilihan: mati muda, mati setengah tua, atau kalau sampeyan memang orang yang tangguh, sampeyan harus banyak menyiapkan betadin dalam kotak P3K, karena pilihan ketiga adalah sampeyan akan babak belur untuk bertahan sampai tua.

Orang mau menggerakkan tangan dan kakinya untuk bekerja ketika terpenuhi 3 syarat. Pertama, dengan segala kesadaran dan kesehatan akalnya dia bekerja karena digerakkan oleh hatinya. Dia tidak memerlukan ukuran apa-apa atas kesuksesan yang akan di capai atau besarnya modal yang dikeluarkan. Orang-orang besar tidak bercita-cita, mereka hanya bekerja keras.

Kedua, dia bekerja karena sungkan, karena terpengaruh wibawa orang lain atau karena terinspirasi oleh orang lain. Tidak harus seorang pimpinan, kepala atau atasan untuk menjadi faktor ‘wibawa’ atau ‘sungkan’ bagi orang lain. Bisa siapa saja. Keberadaan seseorang yang menjadi pancer  adalah faktor paling penting untuk sebuah pekerjaan multi-tasking yang harus diselesaikan secara kolektif. Meskipun akhirnya, seorang pemimpin adalah orang yang sangat berperan penting untuk menciptakan kampung yang nyaman bagi para pekerja seperti ini. Menciptakan iklim bekerja yang saling mempercayai, menghormati antar sesama pekerja. Kalau fungsi pimpinan tidak sanggup memenuhi syarat ini, insyaAllah organisasi itu tidak lebih dari sekedar gerombolan.

Ketiga, dan ini adalah yang sepekok-pekoknya kelas pekerja adalah, ketika dia bekerja harus diperintah. Diperintah ini bisa berarti banyak, mulai dari dirayu, diming-iming, ditakut-takuti sampai dipaksa pakai cambuk. Yang ada dalam kepala orang-orang ini hanya buku manual, juklak, juknis dan kalkulator.

Nah, sekarang bayangkan kalau sampeyan pada sebuah titik nadir dimana sampeyan tidak punya semangat bekerja autorun, lalu di saat yang sama tidak ada iklim kerja yang kondusif dan tidak ada yang mau kasih perintah untuk melakukan ini itu. Yokopo rasane? Kate lapo kon?

Dalam rumah tangga birokrasi dia tidak mengenal model-model pekerja kloter pertama di atas. Orang-orang dengan chipset super canggih di kepalanya yang mampu bekerja secara otomatis tanpa dipencet tombolnya seperti ini tidak masuk dalam kamus birokrat. Gak ada ukurannya! Dan di saat yang sama, sialnya, pemerintah tidak punya mekanisme monitoring kepada para pekerjanya sampai tingkat tukang ngarit pakan banteng untuk menentukan siapa yang layak dapat reward dan siapa yang harus dikasih punisment! Sayur mayurlah kita semua!

“Oo.. jadi om kebo ini lagi nyombong merasa masuk dalam kelompok pertama dengan chipset super canggih, sudah bekerja autorun, tapi selama ini gak ada reward apa-apa dari instansi?”

Oh tidak kisanak! Anda salah menangkap omongan sayah!

Saya tidak pernah mengharap penghargaan apa-apa. Toh saya juga tidak pantas dihargai. Meskipun saya mau banting setir, peras cucian, blusukan ke hutan tiap hari, malamnya nglembur di depan lepi, itu tidak ada urusan saya layak dihargai.

Meskipun tiap tahun saya selalu menyempatkan naik ke gunung di saat orang-orang asyik hibernasi di posnya masing-masing, itu tidak ada relevansinya dengan saya harus dihargai atau ndak. Meskipun ratusan foto saya hasilkan, berbuku-buku saya tulis, berkolom-kolom tabel data saya kumpulkan tetap tidak ada hubungannya. Meskipun berpusing-pusing kepala ini menyusun sistem tentang bagaimana seharusnya sebuah pengelolaan kawasan konservasi harus kembali ke lapangan, kembali ke semangat awal kehutanan dibentuk, toh ujung-ujungnya saya harus ikhlas dikucilkan. Dan insyaAllah saya ikhlas.

Memang orang-orang seperti saya ini harus dijauhkan dari kekuasaan, karena bisa membahayakan status quo. Orang-orang seperti saya ini adalah kelompok orang bau keringat, kumuh, tidak pernah mandi, lebus, kulitnya kusam, matanya merah dan mulutnya bau rokok. Untuk itu dia yang tidak boleh tampil di muka.

Sistem birokrasi harus terlihat clean and perfect. Karena selama ini sistem birokrasi negara tercinta ini memang tidak pernah mau ngurusi barang-barang yang subtantif. Pemerintah kita membelanjakan triliunan rupiah hanya asik untuk memoles kulit! Berdandan macam-macam tapi kepalanya kosong, hatinya kering.

Mau ganti presiden berapa kali, hutan-hutan di Sumatra dan Kalimantan tetap akan habis. Terserah mau pake mekanisme kebakaran hutan apa illegal logging? Kita itu tidak pernah benar-benar belajar dari kesalahan. Kita tidak pernah benar-benar mau memahami substansi permasalahan. Dan memang tidak penting.

Baluran mau menghabiskan uang berapa milyar pun nggak ada kaitannya dengan berapa jumlah Banteng yang bertambah tiap tahunnya. Mana ada orang Baluran yang bersedih hati melihat 1-2 ekor banteng mati terbunuh? Gak ada! Karena itu gak penting. Yang penting adalah kita sudah menghabiskan uang banyak untuk meningkatkan jumlah Banteng. Perkara Bantengnya mau nambah atau nggak itu kejauhan. Kita sukanya muter-muter di permukaan tanpa mau menyelam lebih dalam. Meskipun sedikit.

Baluran menerbitkan buku pertamanya sejak lebih dari 30 tahun kawasan ini dibentuk apakah itu mempunyai arti? Gak sama sekali kisanak! Karena yang lebih penting adalah ada uang yang habis untuk mencetak buku itu! Jadi mau bikin buku berapapun tidak akan dilihat dari kacamata pengetahuan apalagi sudut pandang literasi yang sangat rendah dalam dunia birokrasi. Lha wong kita itu tidak sedang mengelola hutan kok. Kita terlalu sibuk untuk itu! Sibuk menghabiskan uang ber-digit melimpah!

Jadi sodara-sodaraku semua, termasuk kawan-kawanku sepekerjaan yang saya hormati, inilah rasa syukurku yang tertinggi sebagai abdi negara di Taman Nasional Baluran. Tersingkir dari hiruk-pikuk ini adalah anugrah tak terhingga bagi saya. Matur sembah nuwun ingkang agung dumateng ngarsaning Gusti Allah kang murbeng dumadi, kulo tasih Penjenengan selametke saking acara-acara mubadzir menika. Semoga Engkau terus mengucilkan hamba. Singkarkan hamba dari segala macam kekuasaan. Hamba selalu menantikan segala skenario penghinaan yang Engkau siapkan di dunia ini. Karena hanya dengan itu hamba akan terus tak henti-henti ngesot, berusaha mendekatimu, untuk menarik perhatian-Mu.

4 thoughts on “Tuhanku, Hinalah Hamba!

  1. ojo ngono mas… isih ono sing peduli karo banteng mas wong Baluran ki… elingo Mariyono to mas.. nganti stress yo bantenge mati ki…

Leave a comment