Kacip 2014: No Birds Story


Dari dulu, saya selalu menyukai tempat ini. Tidak ada tempat yang lebih ngangeni di Baluran selain Kacip dengan segala cerita behind the scene-nya. Savana Talpat yang menawan setiap pemburu pemandangan landscape. Burung-burung yang tidak dijumpai di tempat lain di Baluran. Nuansa sunyi yang hanya nada ritmik riak air sungai memenuhi seisi lembah. Lutung yang tiap malam suka ngebom tenda dan alat-alat masak dengan telek-nya.

Sebelum saya menghilang dari Baluran untuk waktu yang agak lama, bayang-bayang pusat zona inti Baluran itu nyembur lagi di kepala saya. Kebetulan ada mahasiswa yang ingin ke sana, namanya Andrian, sekalian saja saya ajak Kacip mate idola saya, Nurdin.

Kacip, Din?”

Siap, Kang.

Done!

Ditambah satu pemain bon-bonan dari jauh, TN. Laiwangi Wanggameti, Simon Onggo, berangkatlah kita berempat. Menuju Kacip.

Tapi cerita kali ini agak berbeda. Saya mulai dari cerita bahagianya:

Sambel Kepala Udang

Siapa saja yang datang ke Kacip pasti menyempatkan diri berburu udang di sepanjang sungai Kacip. Iya, udang yang hidup di aliran sungai yang dibentengi tebing kaldera Gunung Baluran adalah skenario Tuhan yang menakjubkan. Membicarakan tentang Kacip, orang-orang selalu menyinggung dari mana datangnya makhluk ini?

Secara geografis, sungai kacip sangat terisolir bahkan terputus dari aliran sungai manapun. Bahkan alirannya tidak sampai muara karena di tengah jalan pasti sudah mengering. Kalaupun sampai muara itu biasanya karena hujan sangat deras di gunung yang menyebabkan air meluap. Jadi siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya para udang itu sampai kawah Gunung Baluran? Sudahlah. Karena bukan itu yang mau saya ceritakan.

Nah, 6 hari blusukan di Kacip rasanya sangat tidak masuk akal kalau tidak berburu udang buat lauk. Saya ingat 2 tahun lalu bisa dapat hampir satu ember. Dan kali ini kami harus dapat jauh lebih banyak. Perburuan pun dimulai. Tapi rekor satu ember itu sepertinya terlalu muluk-muluk. Udang yang parkir sedikit, tapi…

Guede-gggueede!

Udang-udang sebesar jempol kaki

Udang-udang sebesar jempol kaki

Edyan, besarnya bahkan sampai sejempol kaki! “Strike!” teriak Simon begitu berhasil menangkap seekor udang seukuran jempol tangan! Satu demi satu udang yang japitnya lumayan menyakitkan itu pun masuk ke dalam kantong. Dua jam waktu dihabiskan, maklum masih pake metode jaman megalitikum: tangkap tangan!

Setelah perburuan udang selesai, giliran Nurdin mengeluarkan jurus Dewa Memasak-nya. Dan, sodara-sodara sekalian, seandainya sampeyan tahu rasanya sambal yang dibuat Nurdin! Kepala-kepala udang diuleg dengan sambel. Sumpah demi Allah enaknya serasa dubur ini sayang mengeluarkan ampasnya! Oh bukan… bukan, yang lebih tepat rasanya seperti disuapi Raisa. ๐Ÿ˜€

Sambel kepala udang racikan Nurdin.

Sambel kepala udang racikan Nurdin.

Dan itulah cerita bahagia satu-satunya dari ekspedisi Kacip seminggu lalu itu. Selanjutnya tentang cerita-cerita menyakitkan.

Fucking Mimosa!

Mimosa, rungseng, atau kucing-kucingan adalah lakon utama sandiwara Kacip. Dia suka tumbuh di tempat terbuka. Bunganya bagus, berwarna ungu nyeprok kayak kembang api. Tapi, durinya… jian… cuk tenan! Dendam membara kalau teringat bagaimana kami berempat dihajar sama herba ini.

Tumbuhan setan. Genus: Mimosa, spesies: matane, sub-spesies: asu **dendam lahir batin

Tumbuhan setan. Genus: Mimosa, spesies: matane, sub-spesies: asu **dendam lahir batin

Bayangan saya, begitu melewati puncak-puncak bukit Talpat, kami akan bernasis lala lili. Background Gunung Baluran dan hamparan savana bergelombang adalah scene paling saya tunggu-tunggu kalau sudah berada di atas Talpat. Tapi ternyata Tuhan sedang nggak enak hati, “Panganen iku mimosa!” kira-kira begitu kata Tuhan.

Dan hancurlah kita berempat berhadapan dengan udara panas di tengah savana, rumput setinggi kepala dan mimosa! Biasanya untuk melewati perbukitan Talpat kita hanya perlu setengah jam dengan sekali pit stop untuk narsis di bukit terakhir. Namun, kali ini ceritanya lain. Waktu tempuh bahkan sampai 2 jam, mungkin lebih. Padahal jaraknya cuma 1 kiloan. Ambil pit stop setiap ada pohon rindang. Berbotol-botol air putih menguap di tenggorokan. Celana robek kanan kiri tersangkut-sangkut duri mimosa. Dan tentunya semua kosakata pisuhan muncrat kemana-mana, cak cuk cak cuk, sa su sa su, das dus das dus, lang leng lang leng… dst dll dsb…

“Hanya orang bodoh yang mau nembus Talpat kayak gini. Demi pendidikan? Prek! Untuk ilmu pengetahuan? Fuck it! Pendidikan? Gombal mukiyo amoh! Apa lagi konservasi? Mbel gedhes!” Gerutu saya di suatu malam di depan perapian, beberapa hari setelah melewati mimosa di bukit talpat, sambil mengingat-ingat ganasnya mimosa.

“Hehehehe…” Nurdin cuma prengas-prenges.

Dan puncaknya, otot lutut kanan Simon ketarik saat melawan duri-duri mimosa. Padahal perjalanan baru separuh jarak. Dengan kondisi kaki cedera seperi itu, perjalanan selanjutnya tidak bisa diperkirakan berapa lama. Yang jelas sampai di basecamp hari sudah gelap. Bahkan di hari kepulangan, cedera Simon menghajar kedua kakinya. Sampai Bekol, checkpoint kami berangkat, juga menjelang malam.

KO dihajar mimosa

KO dihajar mimosa. Foto: Simon’s selfie

No Birds Story

Puncak penderitaan kami adalah, tiada lain, burungnya sepiiii! Padahal sebelum berangkat saya sudah nyombong ke Nurdin, “Jangan sampai kehabisan batere. Burung yang gak penting gak usah difoto biar memorinya awet. Perbanyak ransum biar hunting-nya gak lemes.”

Dalam kepala saya sudah berseliweran si luntur, sempur, pijantung, elang jawa, atau takur yang suka mampir di atas basecamp. Tapi yang terjadi adalah lutung di atas tenda yang suka ngebom telek.

Rasanya saya gak tega mau meneruskan cerita ini… Gimana mau tega? Kamera + tripot 11 kg yang sudah susah payah dibawa melewati terik matahari, naik-turun bukit, dan dihajar mimosa nganggur gak kepakai! Untung saja Elang Jawa masih mau mampir, kalau gak sudah bunuh diri kendat di bawah mimosa saya!

Si pelipur lara, Elang Jawa.

Si pelipur lara, Elang Jawa.

Mungkinkah pengaruh iklim mempengaruhi burung-burung ini? Memang tidak seperti biasanya, tahun ini Baluran diguyur hujan agak lama. Bulan Mei masih saja ada hujan bahkan sampai menimbulkan banjir besar di sisi timur Baluran. “Normal”-nya, pada bulan Mei Baluran sudah mulai disibukkan dengan kebakaran hutan karena hujan sudah berhenti di bulan April.

Hujan yang agak awet mengakibatkan hutan-hutan di sekitar gunung juga agak awet hijau. Mungkin itu yang bikin burung-burung itu lebih betah berlama-lama di luar kacip. Sama ademnya mungkin yes? Mungkin. Yang pasti saya tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan ini.

Sudah terlanjur berlinangan keringat dan pisuhan untuk sampai ke Kacip, terlalu sayang kalau harus dilewatkan dengan duka lara dan gundah gundala. Lebih baik segera bikin perapian, siapkan bumbu-bumbu, nyemplung sungai lagi, hajar itu udang-udang super montok.

 

5 thoughts on “Kacip 2014: No Birds Story

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s