Petungkriyono Part I: Siluman Bangkit Dari Kubur


Tiga bulan sebelas hari blog ini nggak saya apdet. Jangankan nulis, mbuka halaman dashboard aja nggak. Mungkin saya sudah bosan menulis? Mungkin capek jadi PEH? Atau jangan-jangan saya sudah muak jadi PNS dengan segala ketidaklogisan sistem di dalamnya? Atau mungkin perlu sekali-kali saya bertransformasi jadi siluman kera. Dihukum 500 tahun belajar membaca alif ba ta ayat-ayat Tuhan di bawah gunung Tapak Budha.

Dan bergeraklah melakukan perjalanan ke Barat, menuju gunung itu. Dimulai dengan menempuh perjalanan yang sangat puanjang dan luama, karena kereta saya kebablasan berhenti di Tegal yang seharusnya saya turun di Pekalongan. Menunggu mobil jemputan yang tak kunjung datang karena ternyata harus menolong sopir bis jurusan Magelang-Jakarta yang kena serangan jantung. Ampuh to? Begitu jemputan datang, ternyata bukan beruwujud mobil, tapi tank bekas Perang Dunia I! Bener lo! Serius! Tahu gitu mending saya bawa awan Kinton saja.

Begitu sampai basecamp, everything is different. Terletak di sebuah dusun kecil berpenghuni puluhan jiwa yang dikelilingi perbukitan dengan hutan yang masih sangat alami; gemericik suara air sungai; udara pegunungan yang sejuk seakan meluluh-lantakkan rasa capek tak tertahan di pundak. Dan tentunya kawan-kawan lama, Jum si siluman Owa, Antok si siluman Kuntul, Cho siluman psikopat dan kenalan baru siluman Rubah yang sangat cantik, Lia. Hehe sori yo Ya, saya hanya siluman biasa yang tak berdaya untuk menyembunyikan kekaguman pada siluman macam dirimu. Besok-besok ganti jadi siluman pohon pisang aja lah biar gak banyak yang nge-fans hohohoho… šŸ˜›

Segenggam biji kopi berwarna hitam pun dimasukkan dalam mulut grinder, digiling dengan tanpa terburu-buru, diseduh dengan air mendidih, didiamkan beberapa menit, lalu ditambahkan gula aren di dalamnya. Srrruttt… ah… pagi yang sangat sempurna! Berbatang-batang rokok pun menjelma asap dan abu menemani obrolan para siluman yang lama tak berjumpa.

Para siluman minus Jum siluman owa

Para siluman minus Jum siluman owa

Mereka adalah siluman peneliti primata sekalian nyambi bakul kopi yang menghabiskan 5 ribu tahun di desa Sokokembang, Kec Petungkriyono, Pekalongan. Hutan-hutan di desa Sokokembang adalah tempat tinggal bagi 4 primata terancam punah: Owa Jawa (EN-IUCN), Surili (EN), Kukang (VU) dan Lutung Jawa (VU) plus 1 anggota GPK siapa lagi kalo bukan Monyet Ekor-panjang. Bahkan konon hutan Sokokembang dipercaya memiliki kepadatan populasi tertinggi Owa Jawa di seluruh pulau Jawa. Nenek moyang Brad Pit berwarna abu-abu ini bahkan masih mudah ditemui di depan pintu rumah basecamp.

Tapi bukan itu inti film ini.

Dengan resource yang sangat terbatas, para siluman peneliti ini mampu melakukan banyak hal luar biasa! Bukan hanya riset, community development dan environmental education pun bergerak bersama. Meninggalkan keluarga dan segala fasilitas hidup di kota untuk tinggal di dusun kecil tepi hutan yang listrikpun sangat tergantung dari besarnya aliran sungai. Bahkan dalam keterbatasan itu, naluri untuk menjadi lebih kreatif memacu sel-sel otak, tangan dan kaki untuk jualan gula aren dan kopi sebagai sumber pendanaan mandiri. Dengan begitu beberapa ribu tahun lagi mereka tidak akan tergantung dengan sumbangan dari lembaga donor.

Saya akan sangat lancang untuk menyebutkan berapa besar dana tahunan yang mereka miliki, tapi kalau saya bandingkan dengan TN. Baluran saja, belum PHKA, apalagi seluruh Kemenhut, mungkin dana mereka kurang dari 2%! Dan kalau sampeyan tanya ke saya, hasil riset apa saja yang dihasilkan oleh Baluran, pengembangan masyarakat apalagi pendidikan konservasi, sumpah saya ndak berani menjawabnya.

Saya tidak menuduh orang-orang Baluran pemalas atau bodoh. Demi Allah, justru sebagai orang-orang yang merasakan langsung panasnya matahari Baluran, tajamnya duri akasia, dasyatnya rasa gatal buah rawe atau susahnya mengamankan hutan dari para pelanggar hutan, mereka adalah pejuang konservasi yang sesungguhnya, meskipun ok lah kalau jumlah orang macam itu gak lebih dari separuh pegawai Baluran.

Sialnya, saya termasuk separuh pegawai pemalas itu. Saya terlalu sombong dengan buku-buku yang sudah saya buat, kontributor di buku-buku internasional, foto-foto yang menumpuk di dalam harddisk, menjadi pemateri di berbagai acara pelatihan, juri lomba, dan lain sebagainya. Saya terlena dalam sistem birokrasi yang menyusup diam-diam dalam pembuluh darah dan membunuhku diam-diam. Tapi yo pancen gak logis tenan og dadi PNS iku. Tapi mboh ah...

Saya sudah lupa kapan terakhir saya motret burung di Baluran. Saya juga lupa kapan terakhir bikin laporan kegiatan lapangan PEH. Bahkan saya baru sadar kalau seragam kerja harian sudah hilang.

Tinggal selama 700 tahun dari rencana semua 500 tahun di bawah gunung Sokokembang mengantarkan saya pada pengalaman yang sangat luar biasa. Menemukan kembali militansi yang sempat terabrasi oleh gelombang birokrasi yang luar biasa dasyatnya. Menemukan kembali alasan betapa tidak ada alasan untuk menunda menggapai mimpi. Dan titik-titik resultan jodoh itu justru tidak dari gedung mewah Manggala atau hotel berbintang yang sering digunakan menghabiskan anggaran negara untuk acara-acara berskala kulit dan make-up. Good place, good people, great shared learning!

Sepulang dari perjalanan ke Barat saya langsung bikin status di fesbuk “Your mind has been successfully reset!“. Mungkin akan terdengar sangat alay lebay huek cuh cuh kalau saya bilang ke sampeyan bahwa saya merasa baru saja bangkit dari kubur. Ya, setan pocong yang akan menghantui sampeyan kala beol di malam hari hahaha…

***

Where there is desire
There is gonna be a flame
Where there is a flame
Someone’s bound to get burned
But just because it burns
Doesn’t mean you’re gonna die
You’ve gotta get up and try, and try, and try
Gotta get up and try, and try, and try
You gotta get up and try, and try, and try

Pink

***

more detail about demons nest please visit http://swaraowa.blogspot.com/

2 thoughts on “Petungkriyono Part I: Siluman Bangkit Dari Kubur

Leave a comment