Gerakan Senyap Atlas Burung Indonesia


Biasanya selepas dari lapangan, hunting foto burung, saya langsung bergegas melarutkan diri dalam ribuan file-file JPEG. Memilah, mengedit, mengagumi diri sendiri. Mengunggah ke laman medsos sambil terus nyileki notifikasi kali aja ada yang kasih like atau komentar. Atau bikin tulisan lebay di blog ini. Tapi sepertinya kali ini saya terpaksa harus menahan libido itu.

Adalah pada Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) V di Bandung akhir November ini sebuah momentum besar terjadi, setidak itu yang saya lihat. PPBI adalah pertemuan rutin tahunan para pengamat burung seluruh Indonesia. Diawali tahun 2007 silam, agenda rutin yang sempat mengalami tidur panjang 5 tahun. Momentum tahun 2012 pada PPBI II di Jogja adalah jam alarm yang membangunkannya dari tidur panjang. Dan sejak saat itu PPBI lumayan konsisten dihelat setahun sekali.

Yang menarik pada PPBI V ini adalah saat Imam mempresentasikan progress pengerjaan Atlas Burung Indonesia (ABI). ABI adalah sebuah mimpi besar. Saking besarnya saya sampai kehabisan akal kok bisa-bisanya dulu saya memprovokasi peserta PPBI III di Cangar mendaulat ABI sebagai produk utama pengamat burung Indonesia.

Meskipun sebagai provokator ABI di Cangar, satu sisi lain dalam hati saya sebenarnya agak pesimis ABI akan menjadi kenyataan. Apalagi setelah Cangar, lalu dilanjutkan PPBI Semarang tidak ada progress yang signifikan dari agenda-agenda ABI. Sialnya, apapun hasil Semarang saya gak pantas protes gara-gara sakit gigi (jan gak mutu tenan) yang membuat saya harus mundur dari panggung diskusi. Padahal kita orang cuma bisa bertemu setahun sekali. Kepesimisan saya semakin menggunung begitu menyadari laman FOBI, yang juga lahir dari semangat sukarela komunitas, satu-satunya web yang memuat database foto biodiversitas di Indonesia tutup lapak dan tidak ada gelagat untuk dihidupkan kembali.

Niatan saya datang ke Bandung kemarin tidak lebih dari formalitas setor muka. Itu sebabnya saya datang 2 hari lebih awal untuk hunting di sebuah kawasan yang konon ditinggali jenis burung-burung cantik sedunia: Luntur Gunung! Itulah tujuan utama saya di PPBI V kemarin. Selebihnya saya hanya penggembira. ABI? Never even crossed in my mind!

Tapi begitu melihat presentasi Imam yang mewakili tim dapur ABI, saya hanya bisa ngelek idu! Presentasi singkat tentang progress pengerjaan ABI itu seketika menjadi blender berdarah yang mencampuradukkan rasa malu pada diri sendiri, kagum, dan optimisme menjadi segelas es jus manis yang semoga bisa saya tenggak di PPBI tahun depan.

Melihat tim dapur yang “baru” memasukkan 366 jenis burung, pada 40 grid saja saya sudah gedhek-gedhek, apalagi jika membayangkan total grid yang mengkover seluruh wilayah Indonesia! Dan kalau sudah bicara Indonesia, kita juga akan bicara tentang luas wilayah hampir 2 juta km persegi, 13.466 pulau, 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7000+ kecamatan dan seterusnya.  Jadi, kalau ditotal akan ada 14.076 grid untuk 6000+ jenis burung! Sopo sing gendheng lek wes ngene ki?

Hasil kerja keras tim dapur ABI

Hasil kerja keras tim dapur ABI

Cikal bakal ABI adalah Atlas Burung Jawa (ABJ) yang disepakati pada PPBI I Ungaran 2007. Mungkin karena saking susahnya mewujudkan ABJ, munculkah atlas-atlas burung lokal seperti Semarang Bird Web, Jogja Bird Atlas, Jogja Interest Bird Map dan Peta Burung Baluran. Dan sekali lagi, sekarang kita sedang membicarakan seluruh Indonesia!

Jadi kenapa Atlas Burung Indonesia ini begitu istimewa?

Pertama, ya jelas apalagi kalau bukan karena Indonesia tadi? Dipandang sebagai sebuah ruang saja Indonesia sudah luasnya minta ampun, belum kalau melibatkan faktor demografis, etnis, jumlah pulau, ketidakmerataan pembangunan SDM dan masih banyak lagi. Malaysia saja, negara yang jauh lebih maju, luas wilayah lebih sempit, hanya punya dua pulau besar sampai sekarang masih puyeng gak bisa mewujudkan atlas burugnya. Negara besar yang sudah punya atlas burung baru Amerika. Tapi saya gak tega membandingkan Indonesia dengan Amerika.

Kedua, karena kita sedang berlomba-lomba dengan laju kepunahan burung yang luar biasa mengerikannya. Alih fungsi hutan yang bahkan setan saja ikut blingsatan menyaksikan mereka mulai kehilangan pekerjaan, karena manusia sudah tidak butuh rekomendasi setan untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Perburuan liar yang super serabutan, yang penting tangkap dulu sebanyak-banyaknya perkara laku apa tidak itu urusan marketing dan pencitraan. Banyak daftar burung berubah menjadi historical record karena burungnya sudah pindah domisili ke pasar burung.

Ketiga, dan yang paling heroik, tidak lain adalah karena ide ini lahir, disepakati dan dikerjaan murni oleh komunitas. Ini bukan aksi tekan tombol petisi melalui layar hp sambil ngising nang kali. Ini adalah aksi nyata di lapangan yang menuntut banyak hal: energi, biaya, pengetahuan, skill, konsistensi, komunikasi dan komitmen. Sampai pada suatu ketika salah seorang peserta diskusi bertanya, “Ini adalah agenda besar dan luar biasa. Kenapa gak dibuat lebih bergaung supaya bisa menarik perhatian dan dukungan pemerintah?”

Aduh mas, maaf sekali kalau hatiku dan pengalaman pekerjaanku sebagai PNS harus memberi jawaban pahit atas pertanyaan itu. PPBI atau apapun namanya, ABI atau apapun bentuknya tidak akan cukup menarik siapapun kalau yang mereka cari adalah efek popularitas dan profit. Dalam wilayah konservasi, pemerintah lebih suka ngurusi perdagangan satwa yang omsetnya jauh lebih menggiurkan. Atau boro-boro ngurusin orang memetakan cucak kutilang se-Indonesia, nyumbang dana perbaikan taman bunga amaryllis para alay di gunung kidul lebih menyimpan simpati masyarakat.

PPBI dan ide atlas burung se-Indonesia adalah buah karya komunitas pengamat burung di Indonesia. Tidak ada logo satupun instansi pemerintah, LIPI, perguruan tinggi apalagi NGO yang terpampang, karena memang “tidak penting”. Atlas Burung Indonesia selamanya akan menjadi gerakan senyap para pecinta sejati. Atlas Burung Indonesia akan menjadi bukti bagaimana people power bekerja, dan memang begitu seharusnya. Atlas Burung Indonesia adalah shirotholmustaqim-nya para pejuang konservasi burung Indonesia.

And please count me in.

Para pejuang sejati. Foto: Budi Hermawan

Para pejuang sejati. Foto: Budi Hermawan

5 thoughts on “Gerakan Senyap Atlas Burung Indonesia

Leave a comment