Nasionalisme Smart Phone


Di postingan sebelumnya, saya sempat cerita sedikit tentang hape Android China rasa Amrik baru saya: Lenovo. Ah, sebenarnya gak amrik-amrik banget juga sih. Agak-agak Korea dikit lah. Lo, bukannya Android Korea lebih handal dibandingkan US? Whatever lah, yang penting saya gak kecewa dengan hape China satu ini. Bolehlah kasih bintang empat setengah dari lima bintang tertinggi kalau saya boleh me-rating. Continue reading

Orgasme Kekaguman Akan Sang Hitokiri


Saya bingung mau menulis apa tentang film ini, karena saat ini saya lebih ingin menonton lagi film ini daripada bikin resensinya. Sampai scene terakhir dari film ini saya bahkan ingin protes kalau filmnya harus berakhir. Bahkan sampai tulisan “behind the scene” yang kayak deret matrik itu keluar, player tidak saya matikan dan saya masih menikmati lagu OST dengan headset masih nancep di telinga. Continue reading

Kelembutan Hati di Balik Kokohnya Jiwa Petarung


Setelah sekian lama gak nonton pilm bagus, atau kalopun sempat nonton selalu saja gagal menyempatkan waktu untuk menulis beberapa paragraf ngasih bocoran. Jadilah Warrior, film terakhir yang saya tonton dan pertama yang bikin saya gak tahan bikin resensi setelah berbulan-bulan lamanya. Ok, apakah sampeyan sudah klik link judul filmnya? Sudah lihat ratingnya? dari berapa ribu users? Sudah lihat juga movie-meternya? Yes, angka yang sepadan untuk sebuah film bagus, even best ever! Kalo saya yang lihat angka-angka itu, tidak perlu saya baca paragraf setelah ini. Langsung saya donwload di torrent, pergi ke rental atau beli dvd bajakannya. Jadi anggap saja ini hanya tulisan ndobos.

Continue reading

Ketika Alam Liar Memanggil


Sekarang jam 01:28 pagi, tapi saya harus menulis resensi film ini. Sebagai seorang forester, film ini sangat menginspirasi! Kisah tentang sekelompok volunteer yang prihatin terhadap perburuan liar Tibetan Antelop (Pantholops hodgsonii)-EN. Mereka bukan PNS bergaji tetap seperti saya, atau staff NGO internasional bergaji dollar. Mereka hanya orang-orang yang peduli dan bertindak nyata tanpa bantuan siapa-siapa.

Berdasarkan dari kisah nyata pada tahun 1993-1996. Adalah Ri Tai yang diperankan oleh Duobuji, seorang mantan tentara Tibet yang membentuk pasukan keamanan yang terdiri dari beberapa masyarakat sipil Kekexili yang bertekad memerangi para pemburu gelap Tibetan Antelop. Kekexili adalah sebuah daerah di pegunungan HImalaya yang masuk wilayah di Tibet berada pada ketinggian 4.700 m dpl, tempat dimana satwa terancam punah itu hidup. Dan Ga Yu, seorang wartawan yang diperankan Zhang Lei, yang datang ke komunitas mereka untuk meliput kehidupan komunitas ini yang sebelumnya tidak ada orang yang tahu. Dari sinilah cerita ini dimulai. Continue reading

Karena Musik Tidak Untuk Di-Fanatik-i


Saya, dari dulu paling gak suka sama grup musik yang menonjolkan keislamannya. Meskipun saya bisa menangis tersedu-sedu saat mengumandangkan sholawat nabi, atau fly saat mendengar alunan musik-musik yang dibawakan Kyai Kanjeng. Tapi tetap saya dari dulu gak pernah tertarik mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan oleh group nasyid atau vokalis yang menonjolkan keislamannya. Aneh, hipokrit? Ya, tapi itulah yang terjadi.

Mungkin hanya Soneta dan Bimbo, dua grup lawas yang bisa menghiburku. Apalagi kalo sudah mendengarkan lagunya Ungu yang sok religius itu, bukannya damai hati bisa-bisa langsung kesurupan saya. Mungkin sampeyan ingat beberapa tahun terakhir ini banyak group pop yang jualan lagu islami tentunya dengan gaya musik dan lirik apa yang mereka tahu tentang Islam. Continue reading

Rock Climbing: Kematian Adalah Logis


Film ini mengingatkan saya pada film keluaran 11 tahun yang lalu, Vertical Limit. Film-film tentang drama penaklukan puncak-puncak dunia bagi saya selalu menyuguhkan aksi yang menguras energi, emosi dan perbendaharaan istilah pisuhan. Apalagi jika drama penaklukan puncak-puncak dunia itu harus dilalui dengan menaklukkan tebing 90 derajat ratusan sampai ribuan meter tingginya. Ah, salah satu kegilaan yang harus aku hapus dari wish list-ku.

Yang membedakan film ini dengan pendahulunya itu adalah, North Face bukan buatan Hollywood. Artist-nya sama sekali gak aku kenal. Pake bahasa Jerman pula. Dan dia diambil berdasarkan kisah nyata. Itulah sebabnya kenapa dramatisasi film ini tidak se-lebay Vertical Limit. Continue reading

Mari berbagi dengan sesama, Anda puas, rakyat cerdas!


Apa yang menarik dari majalah digital ini? Bagi saya, terlepas saya adalah salah satu tim di dalamnya, adalah majalah ini lahir murni bermodalkan semangat dari sebuah komunitas kecil orang-orang yang suka ngluyur, motret dengan alat seadanya, lalu menulis cerita mereka dengan bahasa yang populis tapi tidak keluar dari batas ilmiah. Tidak ada lembaga donor yang mendanainya, tidak ada orang terkenal apalagi kuat yang mendukungnya, bahkan publikasinya “hanya” bermodal tutur tinular, dari “mulut ke mulut”. Nyaris sama persis dengan bendera besar yang berada di belakangnya: FOBI. Continue reading