Kabar bagus buat para penggemar hape Cina Lenovo. Katanya perusahaan yang baru saja membeli Motorola ini mau memasang ROM baru di hape-hape terbarunya yang diberi nama VIBE. Atau udah keluar ya? Continue reading
Make Up my Android Homescreen

Kabar bagus buat para penggemar hape Cina Lenovo. Katanya perusahaan yang baru saja membeli Motorola ini mau memasang ROM baru di hape-hape terbarunya yang diberi nama VIBE. Atau udah keluar ya? Continue reading
Apa yang menarik dari majalah digital ini? Bagi saya, terlepas saya adalah salah satu tim di dalamnya, adalah majalah ini lahir murni bermodalkan semangat dari sebuah komunitas kecil orang-orang yang suka ngluyur, motret dengan alat seadanya, lalu menulis cerita mereka dengan bahasa yang populis tapi tidak keluar dari batas ilmiah. Tidak ada lembaga donor yang mendanainya, tidak ada orang terkenal apalagi kuat yang mendukungnya, bahkan publikasinya “hanya” bermodal tutur tinular, dari “mulut ke mulut”. Nyaris sama persis dengan bendera besar yang berada di belakangnya: FOBI. Continue reading
Tiba-tiba dapat sms dari Imam, “wah, kunjungan ke fobi menembus 10rb.. selamat2!”
Wow! Langsung saya crosscheck sms salah satu editor buku saya itu. Dan benar, malah saya telat menyaksikan angka bulat 10.000 karena sudah kelebihan 35! 10.000 kunjungan bo’. Bukan angka kecil untuk situs baru yang belum genap berumur setahun setengah sejak dia mengudara di dunia maya. Dan ini “kunjungan” lo brur, bukan “views” atau “hits”.
Setelah ngecek fobi, langsung saya ngecek blog-nya Imam. Ternyata dia belum nulis tentang berita bagus ini. Daripada keduluan dia, segera saya bikin coret-coretannya di blog ini. Saya harus jadi yang pertama yang menulis kebar baik ini.
Kendari (ANTARA News) – Habitat burung maleo, salah satu satu burung langka di Sulawesi Tenggara (Sultra), kini terancam punah bahkan sudah menghilang, menyusul maraknya aksi perburuan, terutama telurnya, yang diambil masyarakat setempat.
“Kalau kita melihat habitat burung maleo di tahun 1990-an, muda sekali ditemukan, sekarang ini sudah sulit, karena populasinya semakin menyusut akibat maraknya perburuan liar,” kata salah seorang tokoh masyarakat yang juga mantan anggota DPRD Sultra, H Umar Saranani, di Kendari, Kamis.
Habitat burung maleo di Sultra dulunya berkembang di kawasan obyek wisata Pantai Taipa dan Toli-Toli di Kabupaten Konawe Utara dan di Kecamatan Bonegunu dan Kulisusu (Buton Utara ) serta Tanjung Peropa (Konawe Selatan).
Kesemua kawasan tempat berkembangbiaknya burung langka tersebut berada di pinggir pantai berpasir tebal dan sebagian pegunungannya yang berbukit dan berlereng-lereng dengan ditumbuhi pepohonan yang tidak terlalu lebat.
Umar mengatakan, sesuai hasil pengamatan di lapangan, menyusutnya populasi burug maleo di Sultra juga disebabkan karena habitatnya telah rusak. Di Buton Utara misalnya, habitat maleo di wilayah itu telah dialihfngsikan menjadi areal pertanian sehingga otomatis burung tersebut terusik, sehingga harus mencari tempat yang lebih aman.
Begitupula di Kabupaten Konawe Utara dan Konsel, sebagian wilayahnyanya menjadi kawasan perkebunan dan pemukiman, bahkan masyarak di sana masih marak melakukan pengrusakan hutan saat mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan rumah di daerah itu.
“Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena burung maleo merupakan salah satu kekayaan Sulawesi yang tidak ada di daerah lain di dunia. Kita akan dicaci maki oleh generasi mendah, kalau burung itu menghilang dari habitatnya,” katanya.
Dengan demikian, mantan politisi dari Partai Golkar itu mengimbau agar semua pihak harus melakukan langkah-langkah kongkret untuk menyelamatkan burung maleo itu. Masyarakat juga harus membantu melestarikannya dengan cara tidak lagi mengambil telurnya.
Telur-telur burung maleo banyak diburu masyarakat karena harganya cukup mahal yakni mencapai Rp50.000/butir. Telur burung maleo itu, katanya banyak mengandung zat yang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan membuat orang tetap sehat dan pugar.(*)
**Diambil dan di-copy right dari Antara News
Setelah bertahun-tahun menyimpan angan-angan membuat sebuah buku tentang burung-burung Taman Nasional Baluran, akhirnya cita-cita itu datang juga. Dimulai dengan sebuah proses pendokumentasian catatan-catatan perjumpaan dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh kawan-kawan di lapangan selama bertahun-tahun, dimulailah proses awal penyusunan buku ini.
Karakter habitat Taman Nasional Baluran yang sangat beragam menjadikan tipe burung yang ada juga sangat beragam. Dalam hal ini, catatan lapangan sangat berharga apalagi sebaran dan kelimpahan beberapa burung juga mengikuti pergantian musim, tingkat tekanan manusia terutama praktik perburuan liar dan perubahan habitat yang berlangsung baik cepat maupun perlahan, fenomena invasi akasia (Acacia nilotica) adalah contoh paling gamblang untuk menggambarkan arus pergeseran neraca ekosistem yang perlahan tapi pasti yang pada akhirnya mempengaruhi pola adaptasi satwa, terutama burung.
Perburuan liar tidak bisa dipungkiri adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap berkurangnya kekayaan burung di kawasan ini. Konon, sekitar tahun 70-80an, Perkutut Jawa (Geopelia striata) sempat menjadi burung paling dicari seiring trend pemeliharaan Perkutut yang cukup meriah. Waktu berganti, trend berubah, Perkutut berangsur pulih dan digantikan oleh Cucak Ijo (Chloropsis cochinchinensis), Punglor (Zoothera citrine), Kacer (Copsychus saularis) dan Gelatik Jawa (Padda oryzivora). Punglor bahkan tidak ditemukan dalam satu tahun terakhir, Kacer hanya satu dua kali teramati, dan Cucak Ijo mungkin bisa diamati dalam jumlah yang agak melegakan hanya di Kawah Gunung Baluran, tidak jauh berbeda dengan Gelatik Jawa yang mulai jarang ditemukan.
Begitu juga dengan nasib Paok Pancawarna (Sitta guajana) dan Pelatuk Ayam (Dryocopus javensis) yang harus masuk daftar burung sulit ditemui. Paok Pancawarna hanya teramati sekali dalam satu tahun terakhir dan Pelatuk Ayam atau lebih terkenal dengan Pelatuk Bawang oleh masyarakat sekitar sedikit bernasib lebih baik karena lebih sering teramati di sekitar hutan pantai Blok Bama.
Nasib paling dramatis dialami oleh Jalak Putih (Sturnus melanopterus) yang mungkin hanya tersisa tidak lebih dari 3-4 ekor. Jalak Putih bisa dikatakan merupakan symbol keterdesakan burung-burung yang menjadi korban perburuan liar. Musnahnya Jalak Putih di Taman Nasional Baluran akan menjadi kehilangan yang berarti, mengingat anak jenis dari burung ini yaitu Sturnus melanopterus tricolor hanya tersebar di Jawa ujung timur.
Tapi mari kita tidak terlalu berdurja. Kawasan eksotis ini masih menyediakan pertunjukan yang mungkin jauh lebih menghibur. Adalah Merak Hijau (Pavo muticus), burung cantik nan anggun yang secara global sangat terancam ini ternyata cukup berlimpah di Taman Nasional Baluran. Pada bulan Agustus sampai Oktober, saat Merak-merak jantan memamerkan keindahan bulu dan kelihaian tubuhnya dalam menari kepada para betina, Taman Nasional Baluran seperti disulap menjadi panggung pertunjukkan sebuah upacara sakral yang terjadi selama ribuan tahun, sebuah theater hidupan liar yang sangat mahal dan eksklusif yang tidak tergantikan.
Kerabat dekat Merak Hijau yaitu Ayamhutan Hijau (Gallus varius) mungkin bukan burung yang mudah ditemui di banyak tempat, tapi Anda akan menemukan burung-burung ini semudah Anda melihat ayam di pekarangan rumah Anda, jantan, betina atau satu keluarga silahkan pilih.
Keberadaan beberapa burung langka yang akan menyempurnakan cerita indah dari tempat indah ini tidak lain adalah Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), yang baru ditemukan beberapa waktu lalu. Tidak ketinggalan, Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Kuntul Cina (Egretta eulophotes), Cerek Jawa (Charadrius javanicus), Wiliwili Besar (Esacus neglectus), Serindit Jawa (Loriculus pusillus), Enggang Cula (Buceros rhinoceros), Takur Tulung-tumpuk (Megalaima javensis), adalah nama-nama yang perlu dipertahankan dalam daftar burung Taman Nasional Baluran.
Catatan-catatan lapangan sebagai sebuah metode pendokumentasian mungkin sudah cukup menjadi saksi jatuh-bangun dan keindahan kisah burung-burung di Taman Nasional Baluran yang akan dibaca oleh generasi mendatang. Namun mengingat ancaman hilangnya beberapa jenis burung dan betapa indahnya burung-burung yang ada di Taman Nasional Baluran menjadi alasan yang tidak terbantahkan untuk mulai berpikir tentang metode pendokumentasian yang lebih “canggih”, yaitu fotografi. Di sinilah kemudian teknologi memainkan peranan sangat penting dalam proses pendokumentasian burung-burung di Taman Nasional Baluran.
Pengamatan Burung dan Fotografi Burung
Tidak berlebihan kalau Taman Nasional Baluran disebut sebagai surganya pengamat burung, bahkan lebih jauh, surganya fotografer burung atau satwa liar pada umumnya. Iklim yang sangat kering karena karena curah hujan yang sangat rendah (antara 900-1600 mm/tahun) menjadikan kawasan ini didominasi oleh tipe hutan musim dengan pepohonan yang tidak terlalu rapat. Pada musim kemarau, ketika hampir semua pohon menggugurkan daunnya, mengamati burung menjadi semakin mudah.
Sebelum berburu burung ada baiknya Anda sudah mempersiapkan alat dan kebutuhan yang diperlukan di lapangan. Bagi pengamat burung, sebuah binokuler adalah alat wajib yang harus ada. Kebanyakan pengamat burung menggunakan tipe binokuler dengan ukuran lensa 10×50 mm atau di bawahnya untuk pengamatan di hutan, meskipun itu bukan harga mati. Pengamatan burung hutan dengan menggunakan ukuran lensa yang lebih besar biasanya cukup merepotkan terutama untuk mengamati burung-burung kecil yang aktif dan lincah. Banyak pengamat bahkan lebih suka menggunakan binokuler kecil dengan ukuran lensa 10×20 mm atau 7×40 mm.
Pada beberapa kondisi, terutama ketika musim kemarau, penggunaan binokuler berlensa besar, bahkan sampai ukuran 15x70mm mungkin tidak menjadi masalah di Taman Nasional Baluran, karena jarak dan ruang pandang pengamat cukup luas. Tidak jauh berbeda dengan pengamatan di daerah terbuka seperti savana atau pantai.
Bahkan penggunaan monokuler bisa membantu Anda melihat burung-burung dalam jarak jauh yang biasanya adalah burung yang suka bertengger di tajuk tinggi atau burung pemalu berukuran besar seperti Tangkar Centrong (Crypsirina temia), Kadalan, Gagak Hutan (Corvus enca), atau Kepudang Kuduk-hitam (Oriolus chinensis).
Perekam suara, meskipun opsional yang sifatnya sunah mungkin bisa membantu Anda untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung yang susah diamati, seperti jenis pelanduk, ciung air, sikatan atau burung dengan variasi suara bermacam-macam. Tidak kalah penting, buku catatan yang akan sangat berguna untuk mencatat point-point penting selama pengamatan.
Fotografi burung, meskipun membutuhkan biaya yang lebih besar tapi masih bisa diusahakan. Teknik digiscoping, yaitu menggabungkan monokuler dengan kamera digital yang biasanya kamera poket mungkin adalah alternatif terbaik bagi Anda yang ingin berburu foto burung. Dan itu sangat mungkin dilakukan di Taman Nasional Baluran.
Pemilihan lokasi dan waktu yang tepat adalah hal yang harus diperhatikan, mengingat mengambil foto burung lebih sulit dari sekedar mengamatinya. Begitu juga memahami perilaku burung target, habitat kesukaan, pohon kesukaan atau waktu aktif.
Daerah ekoton atau daerah peralihan dua habitat yang berbeda adalah lokasi terbaik. Biasanya di lokasi ini menjadi jalur transportasi burung yang menempati dua habitat yang berbeda untuk saling menyeberang ke habitat tetangga. Selain itu di lokasi ini banyak ditemukan jenis pohon yang masa berbunga dan berbuahnya tidak tergantung musim. Ficus superba atau Krasak bahkan kami sebut sebagai “Pohon Kehidupan” karena begitu dia berbuah, berbagai macam burung, primata dan mamalia kecil berkumpul di pohon raksasa ini. Di luar daerah ekoton, Talok (Grewia eriocarpa), Widoro Bukol (Zizyphus rotundifolia) dan Asem (Tamarindus indica) yang banyak tersebar di hutan musim dan memiliki siklus berbunga musiman adalah pohon-pohon yang juga digemari burung.
Dimana Anda Menemukan Apa?
Lokasi favorit untuk mengamati burung dan berburu foto kebanyakan berada di wilayah timur Taman Nasional baluran. Selain sarana jalan yang lebih mudah untuk masuk ke “jantung’ kawasan, wilayah ini juga sering menjadi lokasi perjumpaan dengan beberapa jenis burung spesial.
Pantai Bama dengan berbagai macam tipe habitat merupakan lokasi terbaik untuk menemukan burung. Jalan setapak ke arah Utara dan Selatan yang berada tepat di daerah ekoton antara hutan mangrove dan hutan musim adalah salah satu lokasi utama. Beberapa jenis burung yang mudah ditemui dan difoto di areal ini seperti Cangak Laut (Ardea sumatrana), Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Rajaudang Biru (Alcedo coerulenscens), dan Pelatuk Ayam (Dryocopus javensis). Meskipun cukup sulit, tapi mungkin hanya di sekitar pantai Bama Anda bisa say hello kepada Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), Pelanduk Semak (Malacocinda sepiarium), Perenjak Coklat (Prinia polychroa), Ciungair Jawa (Macronous flavicollis) dan Gagak Hutan (Corvus enca).
Keluar dari Bama, sepanjang perjalanan dari Pos Bekol sampai pintu gerbang utama di Batangan, Anda akan menemui burung-burung spesial di sepanjang jalan ini. Sebut saja Pijantung Besar (Arachnothera robusta), Enggang Cula (Buceros rhinoceros), Serindit Jawa (Loriculus pusillus), Pelatuk Tunggir-emas (Chrysocolaptes lucidus), Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica), Elangular Jari-pendek (Circaetus gallicus), Gelatik Jawa (Padda oryzivora).
Hutan Evergreen yang terletak tidak jauh dari pos jaga Seksi Bekol terkadang menjadi lokasi pengamatan yang bisa memberi kejutan. Sebagai hutan yang selalu hijau sepanjang tahun, meskipun berada di tengah-tengah hutan musim yang kering, areal ini sering dikunjungi beberapa burung yang secara umum jarang ditemui di lokasi lain. Sebut saja Ayamhutan Merah (Gallus gallus), Kadalan Kembang (Zanclostomus javanicus), Tepus Pipi-perak (Stachyris melanothorax), dan Elangalap Jambul (Accipiter trivirgatus) yang pernah ditemukan bersarang di areal ini atau Bangausandang Lawe yang suka berkunjung di Curah Uling (utara Evergreen) ketika mulai memasuki musim kemarau.
Di luar wilayah Barat, beberapa lokasi penting untuk terus dimonitoring adalah Blok Bilik-Sijile, Blok Gatel dan Kawah Gunung Baluran (Blok Kacip).
Blok Bilik-Sijile terletak di pantai utara Taman Nasional Baluran. Meskipun berdekatan dengan pemukiman eks HGU Gunung Kumitir, pantai Bilik-Sijile merupakan lokasi dimana Wiliwili Besar (Esacus neglectus) hanya ditemukan di sini. Di sekitar pantai Bilik-Sijile juga merupakan lokasi langganan untuk memotret Kirikkirik Laut (Merops philippinus) dan Cabak Kota (Caprimulgus affinis). Garis pantai yang panjang yang bervariasi antara pantai berpasir dan pantai berkarang menjadi salah satu lokasi alternatif untuk memotret kelompok burung air, terutama ketika air laut surut.
Blok Bilik-Sijile hanya bisa ditempuh menggunakan sepeda motor atau kapal nelayan. Ketika memasuki musim penghujan, daerah ini hanya bisa ditempuh menggunakan kapal karena kondisi medan yang sangat tidak memungkinkan menggunakan jalur darat.
Blok Gatel adalah salah satu daerah penting bagi burung Taman Nasional Baluran yang baru teridentifikasi akhir-akhir ini. Beberapa jenis burung yang fotonya hanya bisa diambil dari blok ini seperti Manyar Emas (Ploceus hypoxanthus), Manyar Jambul (Ploceus manyar), Gagangbayang Belang (Himantopus leucocephalus), Itik Benjut (Anas gibberifrons), Cangak Merah (Ardea purpurea), Cerek Jawa (Charadrius javanicus), Cerek Kernyut (Pluvialis fulva), Kicuit Kerbau (Motacilla flava) dan Burungmadu Kelapa (Anthreptes malacensis). Pada tanggal 26 April 2009, sebuah pertemuan dengan Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) semakin menguatkan posisi blok Gatel sebagai salah satu daerah penting bagi burung.
Perburuan foto burung yang paling mengesankan dan selalu menyisakan cerita tak terlupakan adalah perburuan di Kawah Gunung Baluran. Hutan yang selalu hijau dan dipenuhi pohon-pohon tinggi dan bertajuk lebat membuat wilayah ini menjadi lokasi paling menantang.
Berjarak tidak kurang dari 12 km dari Pos Seksi Bekol, Kawah Gunung Baluran harus ditempuh dengan berjalan kaki melawati perbukitan dan menyisir sepanjang sungai yang mengarah ke mata air Kacip tempat camp paling strategis. Mata air Kacip adalah lokasi dimana terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun. Dari sungai inilah, pipa-pipa disalurkan untuk mencukupi kebutuhan air bagi satwa yang hidup di wilayah timur Taman Nasional Baluran.
Di tengah-tengah jalur pendakian ke Kacip, terdapat bukit Talpat yang memiliki pemandangan sangat indah. Tempat terbaik untuk menghilangkan rasa lelah, dan ambil beberapa foto. Kalau tidak dapat foto burung, beberapa foto narsis juga tidak dilarang.
Berburu foto burung di Kawah Gunung Baluran bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan beberapa jenis burung yang hanya ditemukan di wilayah ini (dan beberapa lokasi di lereng luar Gunung Baluran) dan “cerita” tentang jenis-jenis “aneh” membuat wilayah ini hampir tidak mungkin dilewatkan. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Luntur Harimau (Harpactes oriskios), Cicadaun Sayap-Biru (Chloropsis cochichinensis), Cicadaun Besar (Chloropsis sonnerati), Munguk Loreng (Sitta azurea), Jingjing Petulak (Tephrodornis virgatus), Cucak Kuricang (Pycnonotus atriceps), Ciungbatu Kecil (Myophonus glaucinus), Ciungbatu Siul (Myophonus caeruleus), Empuloh Jenggot (Alophoixus bres), dan Takur Tenggeret (Megalaima australis) adalah nama-nama khas wilayah ini.
Menginap dalam waktu yang agak lama adalah cara paling logis untuk mendapatkan hasil foto maksimal. Dan itu tidak menjadi masalah, karena di Kawah Gunung Baluran terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun. Mungkin yang menjadi masalah adalah keterbatasan cadangan batery dan memory kamera.
Pendokumentasian
Adalah kamera DSLR Nikon D200 dan lensa zoom tele Sigma 170-500 mm yang menjadi andalan dalam perjalanan perburuan. Sempat tergagap-gagap menggunakan kamera tangguh ini karena begitu banyak panel dan menu pilihan membuat beberapa foto didapat tidak dalam kualitas maksimal.
Dimulai sejak bulan Mei 2008, proses pendokumentasian jenis-jenis burung Taman Nasional Baluran telah mengumupulkan 155 jenis burung, termasuk 11 jenis belum teridentifikasi dan 4 jenis dengan kualitas foto “tidak layak tampil”. Setiap foto kemudian dimasukkan dalam komputer database dan di-rename berdasarkan lokasi dan waktu diperoleh. Catatan tambahan hanya diperuntukkan bagi jenis-jenis penting.
Pengelompokkan jenis burung didasarkan pada suku dan nama spesies yang sebelumnya diidentifikasi dengan bantuan Buku Panduan Lapangan Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan ditulis oleh McKinnon, dkk., serta membandingkan dengan foto-foto yang ada di situs Oriental Bird Images (OBI). Identifikasi suara adalah alternatif terakhir jika burung tidak bisa diamati atau difoto.
Dalam hal pengidentifikasian foto burung yang ditemukan, kami khusus sangat berterima kasih kepada DR. Bas van Balen yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi terhadap beberapa foto salah identifikasi, dan kepada Karyadi “Kang Bas” Baskoro yang selalu siap direpoti ketika kami kesulitan mengidentifikasi. Tidak lupa terima kasih kepada Bernadius “Maswa” Setiawan dan Adhy “Batak” Maruly atas foto spesial Luntur Harimau dan beberapa masukan tentang jenis burung air.
Lebih dari satu tahun sudah, giga byte demi giga byte dihabiskan untuk menangkap keindahan burung-burung Baluran. Setap foto adalah proses pembelajaran yang sangat berarti betapa alam sudah sedemikian ikhlasnya untuk melayani manusia. Bahwa di setiap helai bulu burung-burung yang terbang di angkasa, di setiap helai daun yang bergoyang ditiup angin, pun di setiap tetes air yang keluar dari balik bebatuan, sesungguhnya alam tidak pernah berhenti berdzikir untuk manusia-manusia yang meluangkan waktunya untuk melindungi dan melestarikan alam dari kerusakan.
Dan akhirnya, tidak ada cita-cita yang tidak tercapai pun tidak ada usaha keras yang tidak membuahkan hasil. Meskipun masih jauh dari sempurna, semoga buku sederhana ini cukup untuk menampung semua keindahan warna dan kemerduan nyanyian burung-burung di Taman Nasional Baluran. Lalu mengabarkan kepada dunia bahwa mereka bahagia, mereka baik-baik saja, dan akan terus begitu selamanya.
Penulis
Pada tahun 2009, berdasarkan evaluasi dari Birdlife International dan Red List Authority-IUCN untuk burung menaikkan status Merak Hijau (Pavo muticus) dari vulnerable (VU) menjadi endangered (EN). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Merak Hijau mengalami penurunan populasi yang sangat cepat dan fragmentasi habitat yang sangat parah, dimana penyebab utamanya adalah konversi habitat dan perburuan dalam jumlah besar. Tren seperti ini diproyeksikan akan terus berlanjut. (Birdlife Internasional, 2009)
Dari beberapa kawasan konservasi di dunia, di Indonesia diwakili Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon. Mungkin juga termasuk Alas Purwo dan Meru Betiri. Di TN Baluran sendiri, Merak Hijau relatif masih mudah dijumpai dalam kelompok-kelompok, tiap kelompok biasanya terdiri dari 3-5 betina. Burung jantan cenderung hidup soliter kecuali ketika memasuki musim kawin.
Meskipun perburuan Merak Hijau di TN Baluran hampir tidak ditemukan dalam satu tahun terakhir, namun tekanan habitat masih cukup tinggi mengingat ketergantungan masyarakat sekitar kawasan juga cukup tinggi. Dan yang perlu diperhatikan pula, pada musim-musim berbiak, ketika betina sudah mulai bertelur dan mengerami, intensitas pengambilan telur burung ini cukup tinggi. Telur Merak Hijau diletakkan pada tumpukan daun dan ranting di atas tanah.
Silahkan lihat juga www.birdlife.org
Akhirnya, setelah hampir 4 bulan. Kalo saja sehari semalam habis 2 bungkus GG inter dan 2 gelas kopi kapal api. Jadi total udah menghabiskan 240 bungkus GG inter dan 1.5 kilo kapal api. Tinggal dihitung aja berapa persen kadar nikotin dan kafein di dalam darah saya, demi sebuah Peta Burung Taman Nasional Baluran. Didahului dengan pengenalan kawasan selama kurang lebih 8 bulan, akhirnya kami Tim PEH memutuskan untuk melakukan survey di seluruh kawasan Baluran (sampling 100%) selama kurang lebih 3 bulan. Dengan menggunakan grid-grid sebagai satuan pengamatan, kami membagi kawasan Baluran menjadi 25 grid pengamatan dikurangi 2 grid yang ternyata berada di luar wilayah taman nasional.
Tujuan survey ini adalah untuk memetakan persebaran jenis-jenis burung yang ada di Taman Nasional Baluran. Biar sekali dayung dapat dua tiga pulau, sekalian kami pakai metode TSCs untuk mengetahui kelimpahan relative burung di masing-masing grid pengamatan.
Dan ini kami persembahkan Peta Burung Taman Nasional Baluran 2009.
KIBC atau kepanjangannya Kutilang Indonesia Bird Watching Club adalah nama pertama bagi segerombolan anak muda tahun 90an yang mempunyai visi sama untuk menyelamatkan burung di alam. Pada perkembangannya “bocah angon” ini berakhir namanya menjadi Yayasan Kutilang Indonesia. Meskipun stempel resminya masih pake “Kutilang Indonesia for Bird Conservation”. Jadi memang susah nyambungke sekian nama-nama itu. Gak usah heran karena pada dasarnya orang-orang kutilang emang aneh-aneh…
Lha…KIBC yang sekarang, apakah sebuah bentuk flash back Yayasan Kutilang Indonesia untuk mengembalikan spirit anak muda jaman dulu yang mulai luntur, atau sekedar romantisisme, atau memang benar-benar sebuah ijtihad yang tulus untuk meneruskan progresifitas Yayasan Kutilang Indonesia dalam kancah konservasi burung di tanah air aku gak tahu. Padahal (denger-denger ne..) saya adalah salah satu anggota KIBC. Itu aku juga gak tahu karena aku tidak pernah merasa mendaftarkan diri.
Tapi yang menarik adalah, KIBC yang satu ini kayaknya agak kendel untuk menunjukkan jati dirinya. Setidaknya melalui event launching KIBC di taman kuliner Jogja. Sesuatu yang mesti didukung oleh banyak pihak, mengingat KIBC adalah sebuah komunitas pengamat burung di luar kampus. Entah ada berapa komunitas pengamat burung di negeri ini yang berbasis di luar kampus.
Saat aku menulis ini, aku gak tau kayak apa format launcingnya. Susunan acaranya kayak apa, dekorasinya pake hiasan gimana, foto-foto yang dipasang berapa jumlahnya aku gak tau. Aku cuma mencoba ngrasani sama diri saya sendiri:”Harusnya acara ini dikemas dengan baik karena nasib KIBC ke depan sangat tergantung dari acara ini, yah minimal dibuka sama Sri Sultan X lah.”
NB: habis mampir di blognya KIBC kok aku jadi ngrerasa kesepian di Baluran, pengen pulang kampung ke jogja..fuck!
Selamat berjuang dab
PANGKALPINANG, SELASA – Populasi burung langka seperti jenis murai batu dan elang bukit di Babel semakin mengkhawatirkan. Dalam radius 10 kilometer, populasi burung tersebut hanya satu ekor saja. Itu pun hanya di daerah-daerah tertentu. Belum lagi jenis burung-burung khas Babel lainnya seperti punai, betet, dan sebagainya yang diindikasikan populasinya semakin sedikit. Zainal Abidin, salah satu pencinta, penangkar, dan pemerhati burung langka saat ditemui Bangka Pos Group di pasar Burung Pangkalpinang, Selasa (25/3) mengaku tertekannya populasi burung-burung tersebut akibat kondisi alam dan lingkungan yang tidak representatif lagi.
Sarjana Biologi lulusan salah satu universitas negeri di Bogor ini mengatakan perambahan hutan secara massal dan besar-besaran untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan membuat areal hidup ratusan jenis burung semakin sempit. Ditambah lagi dengan minimnya usaha reboisasi dari pelaku dan perambah alam dalam mengembalikan situasi lingkungan ke kondisi awal. “Banyak pemicu lainnya. Misalkan faktor dari jenis burung itu sendiri, baik reproduksi, sistem hidup, sebaran makanan, dan pola migrasi. Yang terburuk adalah banyak jenis burung langka yang diburu oleh pihakpihak tak bertanggung jawab,” kata lelaki paruh baya yang berdomisili di Kecamatan Merawang ini.
Lebih jauh, ia menjelaskan pola hidup burung seperti murai batu dan elang sangatlah sensitif. Reproduksi mereka tidaklah sebaik jenis burung lainnya. Telur yang dihasilkan tak lebih dari tiga buah, sementara setiap hari burung jenis ini terus diburu dan terkadang banyak yang mati di tengah alam. (Bangka Pos/Rico Ariaputra)
Diambil dari kadangkukila@yahoogroups.com dari http://www.kompas.com