Kesamaan Hak Sekolah dan Belajar Untuk Semua


Mungkin apa yang sedang kerjakan mulai beberapa bulan yang lalu adalah hal yang cukup kontroversial bagi Taman Nasional Baluran. Karena apa yang saya lakukan ini bisa jadi menambah ambiguitas dalam pengelolaan kawasan ini. Yes, banyak watak dan model kebijakan siluman dalam pengelolaan -gak hanya Baluran tapi hampir sebagian- kawasan konservasi di Indonesia. Jadi ditambah satu gak papalah

Adalah pemukiman dalam kawasan Eks-HGU Gunung Kumitir tempat dimana ratusan kepala manusia dan ribuan ekor sapi tinggal dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam Baluran. Pemukiman ini adalah salah satu dari beberapa masalah perambahan di Baluran. Maka sebagai layaknya wilayah perambahan, tanah inipun diklaim sebagai tanah sengketa antara masyarakat penghuni dan Balai Taman Nasional Baluran. Kami sering menyebutnya wilayah ini Labuhan Merak. Nama ini sudah melekat sejak jaman Belanda yang disematkan pada peta Landbouwstatistiekkaart tahun 1932.

CIMG1221_resize

Kampung Labuhan Merak

Ceritanya, dulu penghuni pemukiman Merak adalah pekerja PT. Gunung Kumitir tahun 1975 dengan kontrak Hak Guna Usaha 25 tahun. Namun belum sampai selesai kontrak, perusahaan itu gulung tikar dan pergi meninggalkan Baluran. Tapi, sayang tidak diikuti dengan para pekerjanya yang memilih tinggal sampai sekarang. Padahal menurut kontrak, seharusnya 2010 lalu mereka sudah “tidak punya hak” tinggal di lahan seluas 200an hektar itu. Berbagai macam carapun dilakukan untuk “mengeluarkan” mereka, tapi belum membuahkan hasil sampai sekarang.

Sebagai tanah sengketa berstatus ilegal, kondisi pemukiman itu sangat terisolasi dan serba terbatas. Tidak ada jalan, rumah sakit, gedung pemerintahan apalagi Indokampret. Aksesibilitas jalur jalan darat hanya bisa menggunakan kendaraan roda dua. Butuh setidaknya 1,5 jam dari gerbang Baluran. Kalau masuk musim penghujan, kampung ini hanya bisa diakses melalui laut. Karena kalau sampeyan memaksa jalur darat, sampeyan cuma menyiksa kendaraan dan diri sampeyan sendiri.

Alhamdulilah, dengan kondisi sepeprti itu setidaknya masih ada gedung sekolah dasar meskipun kondisinya apa adanya. Yes, dari sekolahan inilah saya memberanikan diri melakukan hal kontroversial itu.

2014305130749_resize

English class kids with topless Pak Guru 😀

Mengajar bahasa Inggris di masyarakat desa tepi hutan yang terisolir memiliki keasyikan sendiri. Keasyikan pertama, karena anak-anak di sana sangat asing dengan bahasa Inggris. Bahkan belum tentu mereka pernah mendengarkan bahasa internasional itu. Listrik di sana menggunakan jenset besar yang dimanfaatkan untuk beberapa RT, nyalanya cuma dari jam setengah 6 sore sampai 10 malam. Saat listrik menyala, orang-orang pada berkumpul di rumah warga yang punya tivi untuk lihat sinetron atau dangdut akademi. Sama sekali tidak ada tontonan yang sehat untuk anak-anak.

Keasyikan kedua, adalah karena saya tidak perlu alat peraga apa-apa untuk memperkenalkan bahasa Inggris kepada mereka, karena lingkungan kampung yang mepet hutan adalah laboratorium maha luas untuk belajar. Pelajaran pertama yang harus saya perkenalkan untuk anak-anak yang sangat asing bahasa inggris adalah memperkaya vocab. Nah, untuk mengumpulkan vocab itu harus dimulai dari benda-benda yang ada di sekitar mereka yang setiap hari ditemui. So jangan berharap mereka belajar tentang jerapah, kereta api, air terjun atau apapun itu yang jauh dari keseharian mereka.

Merekapun saya suruh keluar kelas untuk mencari benda apa saja yang ada di sekitar sekolah tapi tidak boleh sama dengan teman-temannya. Dan berhamburanlah mereka lalu kembali membawa berbagai macam benda, pasir, bunga, kayu, batu, plastik bahkan ayam. Pada pertemuan selanjutnya semakin bermacam-macam saja bawaannya, sepeda ontel sampai kambing hahaha… I love kids!

 

2014212130131_resize

Samsul dengan ayamnya

Anak-anak, secerdas apapun dia, akan mudah mempelajari sesuatu jika mengalami sendiri. Proses belajarnya memang harus learning by doing. Dengan mengkoleksi benda-benda yang mereka pilih sendiri adalah bagian dari self experience dalam belajar. Semoga dengan begitu mereka lebih mudah mengingat hapalan vocab dari pak guru yang ganteng ini.

Keasyikan kedua adalah saya tidak perlu mengikuti kurikulum pememerintah yang membingungkan itu. Ngeri sendiri saya melihat LKS anak-anak. Materinya siluman semua! Dan akhirnya gurunya ikut kesurupan. Dan itulah seburuk-buruknya pendidikan: anak-anak datang ke sekolah tidak untuk mendapatkan ilmu yang dia butuhkan. Mereka dipaksa mengejar nilai-nilai ujian yang ukurannya saya yakin tidak didasari atas kedewasaan membangun generasi penerus berkualitas.

Sejak awal saya sudah bilang ke kepala sekolah kalau metode belajar saya di kelas bahasa Inggris tidak untuk mencari nilai. Ukuran keberhasilan kelas ini adalah kalau anak-anak bisa dan berani ngomong pake bahasa Inggris. That’s it.

Keasyikan ketiga ya kontroversial itu tadi. Selama bertahun-tahun status mereka adalah ilegal. TN Baluran tidak mengakui keberadaan mereka. Dari sisi hukum, keberadaan kampung ini memang tidak dibenarkan. Mengeluarkan masyarakat Merak dari kawasan Baluran hampir dibilang “harus”! Beberapa rekan kerja bahkan mengkritik saya, “La kalo kamu ngajar di Merak, sama saja kamu mengakui status mereka!” Begitulah kira-kira.

Saya tidak mau mendebat mereka. Mungkin pemahaman mereka tentang pendidikan dengan saya berbeda. Dan saya tidak mau mempertentangkan perbedaan itu. Tapi setidaknya sampai hari saya masih menganut mahzab kesamaan hak sekolah dan belajar untuk semua. Meskipun orang tua mereka adalah perambah, pemburu satwa, pembakar hutan tapi anak-anak mereka memiliki jalan hidupnya sendiri. Tidak ada dosa turunan. Yang ada adalah kemiskinan yang turun temurun karena kesamaan hak dan akses pendidikan yang tidak merata di negeri ini.

Seperti apapun orang tuanya, anak-anak ini harus pintar dan berprestasi. Anak-anak ini harus keluar dari kotak kemiskinan yang terlanjur diciptakan oleh orang tuanya.

7 thoughts on “Kesamaan Hak Sekolah dan Belajar Untuk Semua

  1. Pertanyaan pertama: Jadi yang foto topless itu sampeyan ya?
    Pertanyaan kedua: Oooh, jadi di Baluran nggak ada jerapah ya?

    **ya ndak to say. masak pak swiss bodynya kayak lontong gitu? 😛 Baluran gak punya jerapah say, adanya cuma pinguin…

  2. Pernyataan saya :
    01. Bahasa yg sampeyan gunakan, diamput… penak
    02. Saya sepakat bahwa pendidikan itu hak semua anak, utamanya pada 2 paragraf terakhir
    03. Ini sampeyan bekerja lepas apa termasuk program Baluran ? (lho ini pertanyaan yak.. bukan pernyataan)

    • jawaban no.3: proyek pribadi non-dipa alias kerja bakti yang diintegralkan sama resort. aku saiki ng resort lo om…

Leave a reply to baluran and me Cancel reply