Ambon Part 2: Lukisan Tuhan Tiada Tara


Saya selalu kesusahan untuk membuka paragraf tulisan yang isinya adalah ungkapan perasaan saya saat itu. Saya ingin menerjemahkan rasa yang ada di dalam dada menjadi untaian kata dan kalimat sehingga saya bisa membagikannya kepada orang lain. Tapi justru yang terjadi, kata memenjarakan saya.

Ini sama dengan bagiamana saya ingin menceritakan enaknya sate Madura dalam bentuk kalimat yang mudah dimengerti sehingga lidah orang lain yang gak ikut makan sate bisa merasakan rasa yang sama dengan yang dirasakan oleh lidah saya! Bisa dibayangkan to kayak apa susahnya? Mendingan saya nraktir sampeyan-sampeyan semua makan sate daripada saya harus bikin kalimat-kalimat itu.

Bahkan seorang Bondan Winarno yang sudah sangat berpengalaman sebagai jurnalis itupun harus menyerah pada sebuah istilah untuk mengungkapkan pengalaman lidahnya terhadap sebuah masakan: maknyus!

Nah sekarang saya sedang ingin melampiaskan kekaguman saya akan keindahan alam Maluku. Sebenarnya gak Maluku banget sih, karena cuma Ambon dan sekitarnya saja. Meskipun itu saja sudah membuat jiwa saya orgasme berkali-kali. Dan itulah masalahnya, gimana caranya saya bisa membuat sampeyan orgasme berkali-kali juga dengan membaca tulisan ini?

Saya ingin mentransfer bau angin laut Pulau Pombo di hidung sampeyan sehingga seolah-olah sampeyan juga sedang menghirup udara yang sama? Nyetrum jantung sampeyan sampai berdegup kencang sama dengan detak jantung saya melihat puluhan lumba-lumba berloncatan tepat di depan jidat saya? Apalagi itu adalah lumba-lumba pertama dalam hidup saya. Mereka berenang dengan begitu riangnya di sekitar speedboat yang saya tumpangi. Melihat langsung makhluk laut paling mulia itu ada kehormatan bagi saya.

Saya ingin sampeyan merasakan halusnya pasir putih di pantai Pulau Kasa yang halusnya seperti tepung! Aseli gak ngapusi! Belum lagi ditambah ombaknya yang cuma kecipik-kecipik? Orang sana bilang: lautnya licin kayak minyak! Saking tenangnya ombak. Dan setiap Birawa lempar kail ke laut saat itu juga ikan kerapu, wrasse, snapper, trigerfish nyangkut di mata kailnya. Dalam satu jam mancing, satu ember ikan dibawa naik ke basecamp. Sebagian besar ikan yang didapat adalah kerapu. Baru kali ini saya tahu rasanya bosan makan kerapu! Fresh dari laut! Bahkan ikan-ikan itu masih kejet-kejet saat ditaruh di atas bara api.

Malam hari, orang-orang tiduran di atas pasir pantai. Memandangi langit yang begitu jernih dengan bintanya yang gemilang. Sesekali komet melesat cepat lalu menghilang lagi di kegelapan. Ada yang berapi unggun, ada yang mancing, main kartu, ngobrol haha hihe, dan ada yang datang dari tengah laut naik long boat. Katanya mereka baru dari menembak ikan. Dan benar perkiraanku, mereka adalah para penembak jitu yang dimiliki KSDA Maluku, pulang membawa ikan gak hanya dalam ukuran kaleng, tapi karung! Dan hebatnya lagi jumlahnya berkarung-karung! Makan ikan segar lagi!

Di hari terakhir kami di Pulau Kasa, saya ingin menyaksikan sendiri ada apa di bawah laut sana. Begitu mudahnya orang-orang cari ikan di sini. Dan, memang, benar-benar, Maluku adalah lukisan Tuhan yang tiada duanya.

Nyuwun ageng pangapunten Gusti Pengeran. Diam-diam saya menuduh Njenengan juga sempat bingung mau menceritakan keindahan tanah ini di kitab suci-Mu. Meskipun surga saja Njenengan bisa mendeskripsikannya. Tapi untuk Maluku, sepertinya Njenengan terpaksa harus melukisnya langsung di atas kanvas bumi-Mu. Terima kasih untuk keindahan ini.

Coming soon:
Ambon Part 3: Dilarang Nggumunan!

Best soundtrack:

5 thoughts on “Ambon Part 2: Lukisan Tuhan Tiada Tara

Leave a reply to iraajummah Cancel reply